​Buzzer Menciptakan Radikalisme Agama? | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

​Buzzer Menciptakan Radikalisme Agama?

Editor: MMA
Kamis, 27 Agustus 2020 21:56 WIB

Oleh: M Mas’ud Adnan---Sekilas pertanyaan itu terasa aneh. Adakah korelasinya, antara dengan radikalisme. Tapi mari kita cermati secara seksama. Terutama konten .

Konten para dewasa ini tidak hanya terpolarisasi pada dua kubu politik: membela atau mengkritik pemerintah. Tapi secara kejam menyasar agama. Terutama antara Kristen dan . Sehingga di media sosial muncul istilah “radikalis Kristen vs radikalis ”.

Mereka tiap hari saling umpat. Konten mereka bukan saja tidak beretika, tapi sangat keji. Parahnya lagi, mereka mencela secara membabi buta. Contoh, artikel soal wanita yang tak ada hubungan dengan agama lain – karena pembahasan internal– tapi dihujat habis-habisan. Mereka melecehkan poligami dan seterusnya.

Karena itu tak aneh, jika muncul kasus Appolinaris Darmawan yang puluhan tahun memprovokasi dan menghina . Di media sosial banyak sekali ‘Appolinaris-Appolinaris’ lain dengan penuh kebencian menyebar narasi agama sesat dan kadrun (kadal gurun).

Begitu juga sebaliknya. Agama Kristen disebut agama tiang jemuran dan agama tak masuk akal. Kristen agama tak berdaya karena tuhannya digantung. Apalagi jika muncul peristiwa pendeta atau pastor terlibat hubungan seks seperti kasus di Surabaya. Marak sekali umpatan kepada agama Kristen seperti: dasar agama sesat, agama menyalahi kodrat. Nikah dilarang, tapi memperkosa.

Hujatan-hujatan seperti ini terus berlangsung. Sehingga - diakui atau tidak - mempengaruhi alam bawah sadar kita, seolah menghujat itu lumrah.

Konsekuensinya, kohesivitas sosial dan solidaritas sosial makin terganggu. Bahkan para tokoh agama yang semula sangat toleran pun mulai tersinggung. Bagaimana tak tersinggung, jika Nabi Muhammad yang berakhlak mulia dan agung, tiap hari dilecehkan sebagai pedofil. Bagaimana tak tersinggung, jika Yesus yang oleh umat kristiani dihormati, disebut porno, hanya pakai celana dalam. Anak tuhan tak berdaya bergelantungan di tiang salib.

Nah, pada titik inilah kerukunan antarumat beragama yang semula dibangun dengan susah payah kini tampak memudar. Apalagi lembaga-lembaga formal seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dulu didirikan pemerintah kini sudah tak populer. Polarisasi sosial makin menajam. Bahkan solidalitas dan kohesitas sosial ambyar.

Konsekuensinya, muncul perasaan survival struggle di masing-masing pihak, diakui atau tidak. Muncul sikap dendam, dirasakan atau tidak. Bahkan juga muncul benih-benih radikalisme, termasuk di kalangan penganut agama yang moderat dan toleran sekalipun.

Jadi, kehadiran para itu bukan saja merusak tatanan sosial yang harmonis, tapi juga memporakporandakan kerukunan antarumat beragama.

Namun terlepas dari berbagai realitas desktruktif di atas, saya juga menangkap dua fenomena penting. Pertama, kita akhirnya paham bahwa watak asli semua pemeluk agama (Kristen, , , dan sebagainya) sejatinya sama: intoleran! Faktanya, penghinaan dan pelecehan terhadap agama lain di media sosial itu dilakukan semua penganut agama. Jadi, pemeluk semua agama, bukan hanya . Mereka punya sisi intoleran cukup tinggi dan cenderung menghina agama lain.

Lebih aneh lagi, ketika kita cermati, ternyata yang paling agresif justru penganut agama Kristen yang di Indonesia minoritas. Logikanya, jika Kristen yang minoritas saja sangat agresif dan gencar menghina agama , apalagi pemeluk agama yang mayoritas. Fakta ini sekaligus menghapus stigma hegemoni pers Barat yang selama ini melabeli sebagai agama intoleran.

Alhasil, kehadiran di Indonesia – sekali lagi – membongkar realitas sikap atau watak asli keagamaan semua pemeluk agama. Artinya, semua agama (, Kristen, , , dan lainnya), - sekali lagi semuanya - memiliki sisi intoleran sangat tinggi!. Sehingga radikalisme itu tak bisa disematkan kepada penganut agama saja, tapi juga pada penganut Kristen, Katolik, , dan seterusnya.

Kedua, fenomena itu juga menyadarkan kita, ternyata upaya membangun kerukunan antarumat beragama selama ini tak serius. Sekedar lip service. Faktanya, para itu tak berdiri sendiri. Mereka muncul karena ada yang mendanai atau membiayai. Tak aneh, jika populer istilah buzzeRP. Ini berarti, sikap intoleran itu sama saja dengan dipelihara. Terutama oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan sekaligus dana besar.

Fakta ini sekaligus meneguhkan bahwa para itu dibiayai bukan lagi isapan jempol. Makin banyak fakta-fakta tak terbantah. Baik dari stakeholder kekuasan maupun bisnis partikelir atau swasta yang punya relasi dengan kekuasaan atau politik.

Celakanya, peran itu tidak hanya dilakonkan “orang-orang bayaran” yang memang ber“profesi”- sebagai tukang nyinyir, penghujat dan pemfitnah. Tapi juga dilakonkan para elit - baik elit politik maupun elit agama - terutama mereka yang masuk kategori aliran keras. Tiap hari mereka melontarkan narasi nyinyir, tidak mendidik dan menyesatkan.

Ironisnya, mereka tak punya sedikit pun rasa ewuh-pekewuh –apalagi malu. Mereka enjoy-enjoy saja menghujat sesama anak bangsa di depan publik dengan bahasa tanpa etika, apalagi akhlak. Padahal narasi-narasi mereka jelas sangat merusak mental bangsa, terutama para anak muda.

Demikianlah, para tidak hanya membahayakan demokrasi, NKRI dan Pancasila seperti yang dikhawatirkan para pengamat. Sehingga ada yang menyebut sampah demokrasi. Tapi juga sangat membahayakan mental dan peradaban umat beragama, karena – secara langsung atau tidak – para dan ifluenzer itu telah ikut menciptakan manusia-manusia radikal dan intoleran dari semua agama. Wallahua’lam bisshawab.

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video