Ngajar 17 Tahun, Guru ini tak Pernah Doakan Muridnya, Beda dengan Kiai Asep dan Syaikh Qadhi 'Iyadh

Ngajar 17 Tahun, Guru ini tak Pernah Doakan Muridnya, Beda dengan Kiai Asep dan Syaikh Qadhi Makam Syaikh Qadhi Iyyadh di Marakesh Maroko, Ahad (15/1/2023). Foto: M Mas'ud Adnan/BANGSAONLINE

SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Ketika saya mengikuti acara Persatuan Guru Nahdlatul Uama (), seorang narasumber yang berprofesi sebagai guru memberikan testimoni mengejutkan.

"Saya sudah mengajar selama 17 tahun. Tapi saya tak pernah mendoakan murid-murid saya," kata dia saat jadi narasumber pada acara di Kampus Universitas KH Abdul Chalim di Pacet Mojokerto, Jawa Timur.

Baca Juga: Elektabilitas Terus Melejit, Khofifah: Banyak Doa Kita Temukan di Pasar

Pernyataan itu dia sampaikan merespons pengakuan Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, M.A. yang tiap malam mendoakan para santri Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto. Kiai Asep bahkan istiqamah bangun pukul 03.00 pagi untuk salat hajat 12 rakaat.

Usai salat hajat 12 rakaat itulah Kiai Asep lalu sujud (di luar salat) dan berdoa menumpahkan semua keinginannya, termasuk mendoakan para santrinya. Biasanya, Kiai Asep sujud dan berdoa cukup lama. Sekitar 20 menit sampai 30 menit.

"Kenapa saya lama sujud? Karena banyak sekali yang saya minta kepada Allah. Saya tak malu banyak permintaan kepada Allah, karena Allah justru senang kalau diminta. Beda dengan manusia. Kalau manusia dimintai kan gak senang," kata Kiai Asep.

Baca Juga: Ketum Pergunu Prof Kiai Asep: Ratu Zakiyah Simbol Idealisme Kita

Usai berdoa itu, Kiai Asep melanjutkan salat witir tiga rakaat dengan dua kali salam.

Si narasumber itu heran terhadap Kiai Asep yang selalu istiqamah mendoakan santrinya. Apalagi pada sepertiga malam. Saat enak-enaknya tidur.

"Mungkin seandainya saya mendoakan murid-murid saya, bisa jadi murid saya lain (berprestasi dan lebih baik)," katanya lagi.

Baca Juga: Kiai Asep Bentuk Saksi Ganda Mubarok dan Khofifah-Emil, Gus Barra Siap Biayai Siswa Berprestasi

Saya tak tahu apakah si narasumber itu kemudian mengikuti jejak Kiai Asep yang istiqamah mendoakan para santrinya. Atau tetap enggan mendoakan murid-muridnya yang merupakan anak didiknya.

Yang pasti, saya (penulis artikel ini) sempat tertegun mendengar pengakuan narasumber itu. Pada satu sisi saya prihatin, karena ia mengaku tak pernah mendoakan muridnya. Tapi pada sisi lain saya salut karena dia berani berterus terang. Apalagi dia memberi pengakuan di depan ratusan para guru yang mengikuti acara itu.

Pertanyaannya, apa sih pentingnya guru atau kiai mendoakan murid atau santri kita? 

Baca Juga: Khofifah-Emil Dapat Nomor Urut 2, Jadi Lambang Semangat Optimisme Dua Periode

Untuk menjawab pertanyaan ini, menarik disimak tulisan Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences. 

Dalam tulisannya di NU Online, Amien Nurhakim mengutip tulisan ulama besar Syaikh Al-Qadhi ‘Iyadh dalam Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik. Dalam kitab itu disebutkan bahwa dulu ada seorang guru mulia mendatangi Ka’bah dan berdoa:

اَللَّهُمَّ أَيُّمَاغُلَامٍ عَلَّمْتُهُ، فَاجْعَلْهُ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ

Baca Juga: Kiai Asep Yakin Mubarok Menang dalam Pilkada Mojokerto 2024, Inilah Target Kemenangannya

Artinya: "Ya Allah, siapa pun yang telah aku ajar, tempatkan dia di antara hamba-hamba-Mu yang saleh."

Konon, usai berdoa itu guru mulia itu berhasil menjadikan sekitar sembilan puluh ulama dan orang-orang shaleh yang telah dibentuk melalui pengajarannya.

Menurut Amien Nurhakim, cerita menarik itu tertuang dalam kitab  Al-Qadhi ‘Iyadh, di Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, jilid VI, halaman 245. Kitab itu diterbitkan oleh Maktabah al-Fadhalah, Maroko pada 1981. 

Baca Juga: Dukung Barra-Rizal dan Khofifah Emil, Pepabri, PPIR hingga Eks Sekdes se-Mojokerto Deklarasi

Syaikh Qohdi ‘Iyadh memang ulama besar Maroko. Ia juga dimakamkan di Maroko, tepatnya di Marakesh. Sekarang nama besar Al-Qadhi ‘Iyadh dibadikan sebagai nama perguruan tinggi. Yaitu Universitas Al-Qadhi ‘Iyadh. Gus Ilyas, putra Kiai Asep, pernah kuliah di universitas ini.

Saat ke Maroko saya pernah ke makam Syaikh Al-Qadhi ‘Iyadh. Tapi sayang belum bisa masuk karena makamnya sedang direnovasi. 

Saya ke Maroko mengikuti rombongan Kiai Asep Saifuddin Challim. Dalam rombongan juga ikut  Dr KH Mauhibur Rokhman (Gus Muhib), Rektor Universitas KH Abdul Chalim Pacet Mojokerto yang juga menantu Kiai Asep. 

Baca Juga: Kagumi Prestasi Amanatul Ummah, Kementerian Pendidikan Malaysia Studi Banding ke Pacet Mojokerto

Menurut Gus Muhib, Syaikh Qadhi Iyadh juga dikenal sebagai ulama produktif menulis. Bahkan ahli sastra atau sastrawan. Salah satu karya besar Syaikh Qadhi Iyadh adalah As-Syifa bi Ta’rifi Huquqil Musthafa. Sebuah karya sirah nawabiyah yang sangat fenomenal.

“Siapa pun yang belajar sejarah nabi tak akan lengkap jika belum baca As-Syifa,” kata Gus Muhib kepada BANGSAONLINE saat ziarah ke makam Syaikh Qadhi Iyadh di Marakesh.

Hebatnya lagi, Syaikh Qadhi Iyadh sukses melakukan kaderisasi. Salah satu santri Syaikh Qadhi Iyyadh yang sangat alim dan produktif adalah Imam Al-Qadhi Ibnu Rusyd, pengarang Kitab Bidayatul Mujtahid yang sangat populer di kalangan ulama pesantren Indonesia.

Baca Juga: Yel-Yel Ganti Bupati dan Menang 90%, Ribuan Korcam dan Kordes Relawan Bara-Rizal Konsolidasi

Syaikh Qadhi Iyad juga termasuk salah seorang wali Sab’atur Rijal (wali tujuh). Wali tujuh itu sangat historis. Bahkan pemerintah Maroko mengabadikan Sab’atur Rijal sebagai monomen penyangga langit. 

Maklum, masyarakat maghribi menganggap Sab’atur Rijal sebagai episentrum tabarrukan. Bahkan masyhur sebagai paku bumi dan pilar penyangga langit Maroko.

Ulama lain yang masuk sebagai Sab’atur Rijal adalah Syaikh Abdurrahman As-Suhaili, Syaikh Yusuf Ali As-Shanhajiy, Syaikh Abu Abbas As-Sibty, Syaikh Abdul Aziz At-Tabba’ dan Syaikh Abdillah Al-Gazwaniy.

Pesan senada terkait pentingnya mendoakan santri disampaikan Prof Dr Nasaruddin Umar. Menurut dia, kiai tidak semata bicara tentang ilmu pengetahuan. Tapi juga terkait dengan ketawadu’an, keikhlasan, hati nurani, dan kewelasasihan.

“Kiai tidak hanya mengajar, tapi juga selalu mendoakan yang terbaik buat santrinya,” Nasaruddin Umar saat menjabat sebagai Wakil Menteri Agama (Wamenag) di Rumah dinas Gubernur Jambi, Provinsi Jambi, Selasa (02/09/2014) Malam.

Saat itu Nasaruddin Umar melantik Dewan Hakim Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) tingkat Nasional ke-V 2014, sekaligus membuka Halaqah Pimpinan Pondok Pesantren dan Tokoh Pendidikan (International Conference of Pesantren Studies) di Rumah dinas Gubernur Jambi.

Menurut Nasaruddin Umar, seperti dikutip kemenag.go.id, seorang kiai atau mursyid selalu dekat dengan para santrinya sehingga terbentuk ikatan emosional yang kuat dan tidak berjarak. Kiai, tegas Nasaruddin Umar, juga selalu berdoa untuk keberhasilan para muridnya. 

“Kiai di pondok pesantren biasanya memakai metode khuduri, atau tidak berjarak dengan murid/santri. Tidak hanya sekedar Ushuli atau mengedepankan akal dan rasio, hal yang mudah kita jumpai di sekolahan,” tegas Nasaruddin Umar yang kini Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta.

“Seorang kiai selalu meluangkan waktunya untuk berdoa, salat malam, dan mengajar dengan mengedepankan rasa dan ikhlas. Semua yang diajarkan (kiai) keluar dari hati yang paling dalam dan mampu menembus batin murid atau santri. Para kiai adalah para tokoh pendidik sejati,” kata Nasaruddin Umar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Sedekah dan Zakat Rp 8 M, Kiai Asep Tak Punya Uang, Jika Tak Gemar Bersedekah':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO