Inilah Manfaat Besar Tobat pada Bulan Ramadan
Editor: MMA
Kamis, 07 April 2022 07:59 WIB
Oleh: Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA --- Tobat dan memohon ampun pada Allah adalah dua kata kunci ketika kita memasuki bulan suci Ramadan. Kesalahan dan dosa baik itu besar atau kecil telah kita lakukan sejak Syawal tahun lalu, kini kita ketemu lagi dengan Ramadan, al-hamdulillah. Tobat yang substansinya bermakna: “sekali kembali pada Allah, maka akan terus berada di sisi-Nya, dan tak akan pernah berpaling dan lari dari Allah. Realitanya, kita biasa bersikap “Tomat” (sakiki tobat, esuk kumat).
Karena itu, kita harus selalu mengulangi dan memperbaharui tobat itu. Tobat adalah tekad hati untuk kembali ke ajaran dan petunjuk Alah. Istighfar adalah praktik dan teknis kembali pada Allah itu dengan ibadah, minta ampun dan janji untuk tidak mengulangi kesalahan dan gelimang dosa yang pernah dilakukan.
BACA JUGA:
Pro-Kontra Tesis Kiai Imaduddin Soal Nasab Ba'Alawi
Catatan Nasab Domain Private, Bukan Konsumsi Publik
Sebelum Masuki Bulan Suci Ramadan, Inilah Empat Rukun yang Perlu Dilakukan
Bagaimana Hukum Mintakan Ampun Dosa dan Nyekar Makam Orang Tua Non-Muslim?
Marilah kita merujuk pada Hadits Nabi laporan sahabat Abu Musa al-Asy’ari, r.a yang menyatakan :”Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut beberapa nama beliau sendiri pada kami, yang sebagian kami hafal. Beliau bersabda: aku ini bernama Muhammad, Ahmad, al- Muqaffi, Pengumpul (al-Hasyir), nabiy al-Rahmah, nabiy al-Taubah dan nabiy al-Malhamah” ( Shahih Muslim no: 2355).
Pada kesempatan ini kami hanya membahas nama beliau : “nabi yang selalu bertobat” Apa nabi pernah salah dan berbuat dosa ? Tentu bukan itu maksudnya ! Nabi itu terjaga dari berbuat dosa (ma’sum) tak mungkin, beliau salah dan berbuat dosa.
Sahabat Abu Hurairah r.a berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah sungguh aku selalu mohon ampun pada Allah dan bertobat kepada-Nya dalam satu hari lebih 70 kali permohonan ampun” (Shahih al-Bukhari no: 6307).
Sahabat Al-Aghar bin Yasar r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia bertobatlah kalian pada Allah dan mintalah ampun pada-Nya, sungguh aku bertobat, sekaligus meminta ampun pada-Nya seratus kali dalam satu hari”. ( Shahih Muslim, no: 2702).
Dari tiga hadis sahih di atas dapat kita pahami, bahwa Rasulullah itu sepanjang hidup selalu 0 dalam suasana pertobatan yang sungguh-sungguh. Tobat, bukan karena beliau berdosa. Tetapi sebuah “tobat istimewa” yang bertujuan ibadah formal ( al-‘ibadah) dan ibadah substansial (al-‘ubudiyah) sekaligus. Suatu motivasi agar beliau mencapai tingkat kedudukan (maqam) tertinggi, yaitu meraih cinta Allah. Suatu tingkat kebahagiaan tertinggi yang hanya bisa dicapai oleh seorang hamba pilihan dalam proses “perjalanan” menuju Allah.
Kita renungi dengan penuh rasa firman Allah: “ Sungguh Allah itu mencintai hamba-hamba yang suka bertobat dan selalu menyucikan diri”. (Qs. Al-Baqarah: 2: 222). Jadi, tobat dilakukan, tidak hanya karena seseorang itu berbuat salah atau dosa, tetapi tobat itu adalah salah satu bentuk ibadah dan ubudiyah. Dengan demikian, tak seorang-pun umat Muhamad yang merasa tidak perlu dan tak butuh tobat. Masing-masing mereka -dalam proses menuju Allah- harus melewati pintu tobat
Pertobatan Manusia.
Kita, sebagai manusia biasa, tak memiliki atribut maqam wali maupun nabi, tentu hidup penuh dengan salah dan dosa. Ada yang merasa tak pernah salah dan dosa ? Jika ada, itulah kesalahan besarnya. Merasa tidak bersalah, itu bersalah, itu dosa. Sebab semua manusia di jaga raya ini tidak ada yang terus menerus berbuat baik. Sebaik-sebaik manusia pasti pernah berbuat salah dan dosa. Karena itu tobat adalah jalan keluar untuk membersihkan dosa itu.
Sebaliknya, sejahat-jahat manusia pasti pernah berbuat baik. Karena itu mereka tidak boleh putus asa. Allah selalu membuka tobat-Nya. Rasa bersalah dan keinginan kuat untuk bertobat biasanya muncul ketika seseorang berpuasa di bulan Ramadan.
Bersih kotornya manusia tergantung pada kondisi “hatinya” (qalbu). Hanya hati bersih yang bisa “nyambung” (wushul) dengan Allah. Hakikatnya, secara alami hati manusia itu baik dan bersih. Perbuatan dosa dan salah yang membuat hati menjadi itu gelap dan kotor. Kotor dan gelap hati inilah yang menghalangi ketersambungannya dengan Allah. Ibaratnya, hati itu kaca, maka debu yang menempel di kaca itu adalah dosanya. Semakin tebal debunya, maka semakin gelap kaca itu. Kilauan dan kacanya macet bahkan mati. Jika kaca sudah gelap, maka kemampuan untuk melihat “bayangan sang kekasih” juga semakin gelap dan sulit. Aksi pembersihan kaca, itulah tobatnya.
Mengingat -secara alami- debu itu akan datang dan menempel di kaca setiap hari, maka pembersihan dengan tobat juga harus dilakukan tiap hari. Jika tidak bisa, dilakukan tiap minggu bulan dan tahun. Nabi yang tak berdosa saja melakukan aksi pembersihan dan pertobatan tiap hari. Kita bertobat tiap hari, minggu, bulan dan tahun ? Mungkin, kita melakukan tobat tiap hari, minggu dan bulan, sesuai tingkat kesalahan yang kita perbuat. Tapi, pada suasana bulan suci Ramadan ini kita intensifkan pertobatan kita. Jika ini kita lakukan, maka koneksitas kita dengan Allah akan bisa kita rasakan. Jika itu yang terjadi, maka itulah kebahagiaan sejati. Suatu kebahagiaan “luberan cinta” sangat indah yang tak akan mampu diungkap dengan rangkaian kata. Semoga kita bisa mengalami dan merasakannya !
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa riwayat Hadits yang kemudian direkonstruksi dalam beberapa kitab sirah; mengalami pembelahan dada dan pembersihan hati tiga kali. Pertama, ketika nabi masih balita. Dua malaikat membelah dada beliau untuk menggusur “kandang setan” yang berada di satu titik di hati beliau.
Kemudian titik bekas “kandang” tersebut diisi dengan ketenangan (sakinah). Karena itu, Rasul selalu tenang dalam menghadapi aneka persoalan dan keruwetan duniawi. Sikap tenang beliau itulah yang membuat kebijakannya “diterima” oleh kawan dan lawan. Muatan sakinah di hati ini terus diperkuat dengan tobat 70 bahkan 100 kali dalam satu hari.
Sedang bagi manusia biasa seperti kita, kandang dan setan yang betah tinggal di kandang tersebut, dapat “diusir” sampai bersih dengan cara aksi tobat yang sepenuh hati ( tawbatan nashuhan) dalam bentuk memperkuat solidaritas sosial dan ibadah formal (al-‘ibadah) serta berusaha maksimal untuk meningkatkan ibadah yang bersifat substansial (al-‘ubudiyah). Jika aksi tobat dengan teknis seperti dilakukan oleh nabi, niscaya hati manusia tersebut, akan mendapat “luberan ketenangan”(fuyudh al-sakinah). Luberan ketenangan tersebut akan terpantul dalam tutur kata, sikap hidup dan perilaku sehari-harinya yang memberi manfaat pada manusia yang menjadi tetangga dan manusia yang berhubungan dengannya.
Kedua, Rasulullah mengalami pembedahan dada dan pembersihan hati saat beliau berusia remaja, sekitar (15-17) tahun. Aksi pembersihan tersebut dilakukan oleh dua malaikat. “Kotoran” bekas kandang setan itu dibersihkan secara maksimal, sehingga titik noda dalam hati nabi betul-betul bersih, dan tak membekas.
Kemudian, hati kemilau yang sangat bersih itu dituangi hikmah (kebijakan). Hikmah secara harfiah bisa berarti bijak, rahasia di balik yang nyata, ilmu yang bermanfaat, rahasia ilmu dan filsafat. Karena itu, tidak heran jika nabi dalam perjalanan dakwahnya memiliki kemampuan ilmu hikmah dan filosofi jauh di atas rata-rata manusia pada umumnya.
Simak berita selengkapnya ...