Sehari Ceramah di 4 Lokasi di Sumenep, Kiai Asep Ingatkan Ekstrem Kiri di UU Sisdiknas
Editor: MMA
Senin, 04 Juli 2022 19:24 WIB
SUMENEP, BANGSAONLINE.com – Seharian penuh Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA berada di Sumenep Madura. Pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto itu ceramah di empat lakosi. Yaitu dalam acara Halaqoh Guru di Pondok Pesantren An-Nuqoyah Guluk-Guluk, Wisuda VI Qiraah dan Fahmul Kutub Maktuba di Pondok Pesantren Sumber Payung di Ganding, Sarasehan Pendidikan di Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Aengdake Bluto dan Sarasehan Pendidikan Mengawal UU Sisdiknas di Pendopo Kabupaten Sumenep.
Meski 4 lokasi itu sama-sama bertema pendidikan, tapi ceramah Kiai Asep berbeda penekanannya. Di Pesantren An-Nuqoyyah ceramah Kiai Asep cenderung akademis. Sementara saat ceramah di Pondok Pesantren Sumber Payung, Kiai Asep memaparkan sistem pendidikan pesantren, terutama pengalamannya belajar kitab kuning.
BACA JUGA:
Kampanye Perdana, Gus Barra-dr Rizal Langsung Menggebrak Enam Titik Lokasi di Jatirejo
Ketum Pergunu Prof Kiai Asep: Ratu Zakiyah Simbol Idealisme Kita
Kiai Asep Bentuk Saksi Ganda Mubarok dan Khofifah-Emil, Gus Barra Siap Biayai Siswa Berprestasi
Hadiri Muslimat NU Bersholawat Bersama Habib Syech, Khofifah: Jamaah yang Konsisten Mendoakan Bangsa
Menurut Kiai Asep, sistem pendidikan pesantren berbeda dengan sistem pendidikan pada umum, termasuk di Indonesia. Penekanan sistem pendidikan pesantren adalah keimanan.
Begitu juga metode yang dipraktikkan. Menurut Kiai Asep, metode pendidikan pesantren khas. Diantaranya sistem sorogan dan bandongan.
“Sistem sorogan dan bandongan harus tetap ada,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) itu.
Sistem bandongan adalah mengkaji kitab kuning dengan cara kiai membaca dan mengartikan kitab, sedangkan para santri menyimak dan menulis arti yang disampaikan atau diulas para kiai.
Sedang sistem sorogan sebaliknya. Para santri satu persatu membaca dan mengartikan kitab yang dikaji, sementara sang kiai atau ustadz menyimak dan mengontrol bacaan santri.
Kiai Asep mengaku tak belajar secara khusus nahwu (gramatika Arab) dan shorof (ilmu yang membahas perubahan bentuk kata dasar bahasa Arab). Tapi ia sering mendengarkan abahnya, KH Abdul Chalim, saat mengajarkan shorof. Ia hafal nashara yanshuru nashran dan seterusnya, tapi mengaku tak mengerti apa maksudnya.
“Hanya hafal saja,” katanya.
Namun ternyata Kiai Asep bisa bisa kitab. “Nahwu dan shorof itu hanya tahqiq saja,” katanya.
Ia bahkan mengaku belajar kitab kuning hanya 14 halaman. “Tapi setelah itu saya bisa baca semua kitab seperti Muhaddzab dan Jam’ul Jawami,” katanya.
Kitab Muhaddzab adalah kitab fiqh, ditulis Syaikh Abu Ishaq Al-Syirazi yang sampai kini sangat populer di pesantren. Sedang Jam’ul Jawami adalah kitab karangan At-Taj As-Subhi yang isinya tentang ushul fiqh, ushuluddin dan tashawuf.
Saat ceramah di Pesantren Nasyrul Ulum yang diasuh KH A Hamid Mannan Munif Kiai Asep banyak mendapat pertanyaan dari ustadz dan ustadzah. Antara lain, bagaimana caranya menangani guru apatis dan tak punya semangat, padahal sudah difasilitasi agar maju dan berkembang.
Kiai Asep memberikan solusi agar didekati secara persuasif. Tapi kalau ternyata tak berubah juga, harus diberhentikan. “Tapi honornya selama tahu tahun (ke depan) harus diberikan,” kata Kiai Asep.
“Karena kalau tidak (diberhentikan) bukan hanya menghancurkan sekolah kita, tapi juga idealisme kita,” kata putra pendiri NU, KH Abdul Chalim itu.
Simak berita selengkapnya ...