Politik Dua Kaki Jokowi dan Skenario Dua Capres
Editor: Tim
Sabtu, 08 Juli 2023 11:46 WIB
JAKARTA, BANGSAONLINE - Presiden Joko Widodo (Jokowi) terang-terangan mengatakan akan cawe-cawe politik dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024. Sontak reaksi memenuhi ruang publik. Para pengeritik Jokowi menilai bahwa ia bukan saja tak punya fatsoen politik atau akhlak politik, tapi juga melanggar konstitusi karena mencampur adukkan posisinya sebagai kepala negara - yang seharusnya netral - dengan politisi yang penuh ambisi. Bahkan Jokowi dianggap ugal-ugalan dalam politik.
Komitemen Jokowi terhadap demokrasi memang lemah. Ini mudah dipahami, karena background Jokowi pengusaha. Terutama pengusaha mebel.
BACA JUGA:
Bansos Beras Diharapkan Lanjut, Presiden Jokowi Janji Akan Bisiki Prabowo
Bersama Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Peroleh Brevet Kehormatan Hiu
Jokowi Resmikan Smelter Grade Alumina, Erick Thohir Paparkan Dampak soal Impor Alumnium
Menparekraf Sebut Investasi IKN dari Luar Negeri Sentuh Angka Rp1 Triliun
Sudah menjadi rahasia umum, hampir semua pejabat berbackground pengusaha cenderung pragmatis. Tidak peka dan kurang peduli demokrasi. Kecuali pengusaha yang punya basis intelektual tinggi dan akses informasi yang baik.
Dulu Gus Dur pernah menyindir Jusuf Kalla. “Repot kalau saudagar jadi pejabat. Semua dihitung berdasarkan untung-rugi,” kata Gus Dur.
Jokowi juga setali tiga uang. Bahkan Jokowi bukan saja cenderung cuek terhadap demokrasi. Tapi juga tidak sensitif pada penegakan hukum. Bukti faktual, KPK melemah justeru terjadi pada era Jokowi. Itu fakta tak bisa dibantah.
Sejak muda Jokowi menekuni bisnis. Mebel. Bisnis yang sama sekali tak bersentuhan dengan dunia informasi. Apalagi intelektual.
Jokowi bukan sosok aktivis yang terbiasa dengan perdebatan demokrasi. Juga bukan seorang intelektual atau pemikir yang kaya pemikiran dan aktif dalam perdebatan intelektual.
Bahkan dalam beberapa kesempatan Jokowi sendiri mengaku bukan berasal dari tokoh nasional dan pemimpin partai.
Maka mudah dipahami jika selama dua periode menjadi presiden, Jokowi terkesan tak peka terhadap demokrasi. Wacana demokrasi mati suri.
Untung sekarang era medsos. Sehingga berbagai pendapat dan kritik yang bertebaran lepas dengan sendirinya. Pemerintahan Jokowi tak bisa membungkam kritik secara maksimal. Tak bisa meniru Orde Baru. Era Presiden Soeharto. Yang membredel pers secara kejam.
Memang, background Jokowi sebagai pengusaha menimbulkan konsekuensi terhadap demokrasi. Pragmatisme politik dominan. Atmosfir politik pun tidak sehat. Sudah bukan rahasia umum bahwa transaksi politik terjadi di mana-mana. Terutama di parlemen. Produk UU yang krusial lolos mulus secara mencurigakan.
Konsekuensi lain adalah nyaris terabaikannya konstitusi. Contoh faktual adalah isu Jokowi tiga periode. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi. Tapi berbagai cara ditempuh untuk mengegolkan “imbuh jabatan”. Termasuk upaya membongkar konstitusi.
Padahal siapapun yang berkuasa lama atau terlalu lama sangat berisiko. Postulat politiknya jelas. “Power tens to corrupt; absolute power corrupts absolutely,” kata Lord Acton (1834–1902). Artinya, kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.
Karena itu wajar jika mayoritas rakyat Indonesia menolak wacana presiden tiga periode, meski Luhut Binsar Panjaitan sempat mengaku punya big data yang mengklaim sebagaian besar rakyat Indonesia menginginkan Jokowi tiga periode. Faktanya saat ditantang agar big data itu dibuka, ternyata Luhut tak merespon. Jokowi dan kroni-kroninya pun menyerah.
Gagal imbuh masa jabatan, Jokowi pun berusaha jadi king maker. Ia meng-endorse Ganjar Pranowo sebagai calon presiden.
Tragisnya, Jokowi juga tak mulus mengusung Ganjar. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang semula bersikukuh menjagokan putrinya, Puan Maharani, sebagai capres, tiba-tiba mengumumkan Ganjar sebagai calon presiden. Jokowi pun kelimpungan.
Meski demikian Jokowi harus menahan marah. Sebab Mega adalah ketua umum PDIP, sementara Jokowi hanyalah petugas partai.
Simak berita selengkapnya ...