Mushaf Alquran Tertua di Dunia, Tanpa Pembeda Titik dan Penanda Harakat
Editor: Abdurrahman Ubaidah
Senin, 19 Juni 2017 10:03 WIB
JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Pada mulanya, mushaf Alquran tidak mengenal penanda baca, selain garis yang menjadi rangkaian huruf hijaiyah. Tak ada titik sebagai pembeda, juga tanpa harakat yang menentukan suara dan nada.
Mushaf Utsmani lawas, misalnya, sama sekali tidak mengadopsi titik untuk membedakan karakter 'ba' dengan 'ta' dan seterusnya. Juga tidak ada baris diakritikal atas atau bawah seperti fatah, kasrah, dan damah.
BACA JUGA:
Pertemuan AIAT se-Indonesia di IAIN Kediri: Dorong Pengarusutamaan Riset Berbasis Surah
Sarat Nilai Keimanan, Khofifah Ajak Teladani Sifat Zuhud Abu Wahb Bahlul bin An as Shairofi Al Kufi
10 Rekomendasi Nama Bayi Laki-Laki Islami 3 Kata Keren, Punya Arti Mendalam, dan Penuh Doa
Mbah Benu Minta Maaf, Bukan Telepon Allah, Netizen: Ngawur Mbah
Tidak pula dikenal tanda tanwin, simbol yang menyatakan bahwa huruf di akhir sebuah kata diucapkan layaknya pertemuan dengan huruf 'nun' mati.
Bisa dibayangkan, betapa repotnya membaca Alquran, terutama bagi orang-orang non-Arab yang membutuhkan rambu-rambu lengkap dalam berbahasa.
Jangankan non-Arab, menurut keterangan Sayyid Ahmad Al Hasyimi dalam Qawa’idul Asasiyah Lillughatil Arabiyah, adanya beberapa kasus kekeliruan dalam membaca Alquran pasca Nabi Muhammad SAW berpulang, menjadikan Sayidina Ali ibn Abi Thalib berkepentingan melakukan kodifikasi bahasa Arab. Juga, merumuskan ketentuan-ketentuan yang mesti dipenuhi.
Ali adalah orang pertama yang menemukan teori-teori dasar berbahasa sebagai alat membaca Alquran. Setelah dirasa cukup, ia memerintahkan muridnya, Abul Aswad Ad Duali untuk melakukan pengembangan lebih lanjut seraya berkata, "Unhu hadzan nahwa!” (Ikutilah yang semacam ini).
Maka, masyhurlah teori tata bahasa Arab yang belakangan disebut ilmu nahwu atau nahu. Ilmu yang hingga kini karib dalam kurikulum pesantren di Indonesia, sehingga para santri tampak andal membaca kitab-kitab bertuliskan Arab, sekalipun tanpa adanya harakat.
Bermula dari At-Taubah ayat 3
Ternyata, tak cuma Sayidina Ali yang didera kekhawatiran akan maraknya kesalahan dalam membaca Alquran pasca Rasulullah tiada.
Abu Amar Utsman ibn Sa’id Ad Dani dalam Al Muhkam fi Naqth Al Mashahif mengisahkan, sekali waktu Ad Duali berjalan melewati seseorang yang sedang membaca Alquran. Ia merasa tersentak, lantaran ada sebuah bacaan yang dianggapnya salah kaprah.
Ialah Surat At-Taubah ayat 3 yang dinyana keliru dalam pengucapan harakat seseorang itu. Terdengar bacaan 'Anna Allaha bari'un-mina-l musyrikiin wa rasuulihu', padahal, semestinya 'rasuluhu'. Dalam bahasa Arab, kesalahan dalam sekali bunyi dan tanda; amat potensial menggeser makna dan pengertiannya.
Dalam ayat tadi, misalnya, kata 'rasulihu' dan 'rasuluhu' menggambarkan arti yang berseberangan. Pembacaan pertama, yang keliru itu, memberikan makna 'Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya ...'. Padahal, Allah sama sekali tidak pernah berlepas diri dari nabi dan rasul-Nya.
Sementara kata kedua, bermakna, 'Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.' Cuma satu harakat, tapi bisa memberikan kesalahan pengertian yang begitu berbahaya.
Setelah memberikan pengertian, Ad Duali lantas bertekad menyeriusi proyek pengembangan ilmu pengetahuan warisan Ali tersebut. Ia merasa perlu untuk merumuskan tanda baca, bahkan titik pembeda huruf yang selama ini tidak diadopsi dalam rasm al-khat Alquran mushaf Utsmani.
Bukan bidah dhalalah
Simak berita selengkapnya ...
sumber : metronews.com