Mengungkap Politik Uang Pileg (1), Suara Rakyat Lebih Murah dari Tarif PSK
Editor: Tim
Senin, 13 Mei 2019 16:31 WIB
SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Ternyata lembaga pemantau pemilu – termasuk Pers dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) - tak pernah menyentuh politik uang pada Pileg. Padahal praktik politik uang inilah yang jadi cikal bakal atau pintu masuk korupsi di DPR. Simak hasil investigasi BANGSAONLINE.com yang ditulis berdasar pengakuan caleg dan oknum penyelenggara pemilu.
Redaksi
BACA JUGA:
Jalani Sidang Perdana, Begini Dakwaan Jaksa KPK ke Bupati Sidoarjo Nonaktif
Kanwil Kemenkumham Jatim Ajak Stakeholder Terlibat dalam Survei Penilaian Integritas
KPK Siap Ladeni Praperadilan Bung Karna
Tiga Paslon Pilkada Kota Batu 2024 Lakukan Ikrar Kampanye Damai
Saking jengkelnya terhadap politik uang (money politics) masif saat pemilihan legislatif (pileg) 2019, seorang penceramah agama yang akrab dipanggil Gus Miftah yang sehari-harinya membina pekerja seks komersial (PSK) berteriak lantang; hidup lonthe …!
Lonthe adalah bahasa Jawa yang artinya Pekerja Seks Komersial (PSK) yang dulu disebut WTS (Wanita Tuna Susila). “Tarif lonthe paling murah sekali tidur Rp 200 ribu rupiah. Tapi suara rakyat lima tahun hanya Rp 20 ribu. Hidup lonthe,” teriak Gus Miftah yang pakai blankon itu di tengah audien yang antusias mendengarkan ceramahnya.
Di media sosial juga marak meme menyayangkan murahnya harga suara rakyat. Salah satu meme berbunyi: jika harga suara rakyat dalam pileg Rp 100.000,- perorang (pemilih), berarti harga suara rakyat setiap tahun Rp 20.000,-. Jika Rp 20.000,- itu dibagi 12 bulan maka harga suara rakyat per bulan Rp 1.666,-
Nah, jika Rp 1.666,- itu dibagi 30 hari berarti harga rakyat tiap hari cuma Rp 55,5,- “Jadi harga suara rakyat jauh lebih murah dari pada harga kencing di toilet umum,” tulis meme itu sinis dan menggemaskan.
Praktik politik uang memang selalu marak setiap pemilu. Praktik politik uang terbagi pada dua bentuk. Pertama, praktik uang yang disebut serangan fajar, yaitu bagi-bagi uang langsung kepada rakyat menjelang waktu coblosan. Jadi tiap orang diberi uang agar nyoblos caleg tertentu.
Kedua, praktik politik melibatkan oknum penyelenggara pemilu. Praktik politik uang model ini biasanya transaksi secara struktural dengan oknum penyelenggara pemilu. Modusnya, oknum penyelenggara pemilu mengondisikan “anak buahnya” agar setiap oknum petugas di TPS “setor” sejumlah suara pada caleg tertentu. Misalnya, caleg A dapat jatah 5 suara atau 10 suara pada tiap TPS, sesuai transaksi dan harga yang disepakati.
Simak berita selengkapnya ...