Urgensi Muhasabah, Kembalilah ke Era Keemasan NU
Editor: MMA
Rabu, 06 November 2019 12:44 WIB
Oleh: M Mas’ud Adnan*
Para elit NU struktural tak bisa menyembunyikan kekecewaannya ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019 lalu. Kekecewaan itu dieskpresikan secara terbuka oleh Wakil Ketua PBNU Robikin Emhas. Dengan alasan mendapat pertanyaan dan protes dari para kiai di berbagai daerah, ia menyesalkan kader NU gagal mendapat posisi di kabinet, terutama posisi Menteri Agama.
BACA JUGA:
Puluhan Kiai dan Gawagis di Kabupaten Kediri Deklarasi Dukung Dhito-Dewi
Maulid Nabi Bersama Puluhan Ribu Muslimat di Pasuruan, Khofifah Ajak Teladani Akhlaq Rasulullah
Terima Dubes Jepang untuk Indonesia, Pj Gubernur Jatim Bahas Pengembangan Kerja Sama
Hadiri Muslimat NU Bersholawat Bersama Habib Syech, Khofifah: Jamaah yang Konsisten Mendoakan Bangsa
Indikasi elit NU struktural ingin masuk kabinet sudah terdeteksi sejak awal. KH Agoes Ali Mashuri (Gus Ali), Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, mengungkapkan bahwa dukungan NU kepada Jokowi-Kiai Ma’ruf Amin tidak gratis. Pernyataan Gus Ali itu menuai kontroversi, termasuk di internal NU, karena selain dianggap terlalu vulgar dan tidak taktis, juga banyak yang menilai bahwa NU terlalu jauh terlibat politik praktis.
Namun ibarat pepatah: nasi sudah menjadi bubur. Ekspresi kekecewaan elit NU struktural secara terbuka itu justru membuka “tabir politik NU” yang selama ini menyelimuti organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu. Artinya, PBNU ternyata diam-diam larut dalam permainan politik praktis. Ini juga berarti bahwa PBNU telah mengabaikan khittah NU yang selama ini masih menjadi frame of reference warga NU.
Kabar yang berhembus, Jokowi sempat menjanjikan NU dapat tiga menteri. Yaitu Menteri Agama, Menteri Pertanian, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ternyata tak satu pun jabatan itu jatuh ke kader NU struktural. Tentu saja mereka kecewa.
Bagaimana dengan tiga menteri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)? Apakah mereka bukan representasi NU? Bukankah Jazilul Fawaid, Wakil Ketua Umum DPP PKB, mengatakan bahwa PKB anak NU?
Elit NU secara tegas menampik. Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Isfah Abdul Aziz menjawab: beda. Sebab, kata Isfah - seperti dikutip Majalah Tempo edisi 4-10 Nopember 2019 – NU berbeda dengan PKB yang merupakan partai politik.
Pada sisi lain, di internal PKB sendiri - menurut laporan Majalah Tempo – terjadi riak-riak atas penunjukan tiga menteri yang diperoleh. PKB mendapat tiga menteri. Menteri Ketenagakerjaan yang dijabat Ida Fauziyah, Menteri Perdagangan yang dijabat Agus Suparmanto, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang dijabat Abdul Halim Iskandar, kakak kandung A Muhaimin Iskandar (Cak Imin), ketua umum DPP PKB.
Yang paling dipersoalkan ke-NU-annya tentu Agus Suparmanto. Ia bukan saja tak dikenal di lingkungan NU, tapi juga bukan pengurus PKB. Namun, tiba-tiba ia diberi jabatan menteri mewakili PKB menyalip kader PKB asli. Padahal, banyak kader PKB senior berpuluh tahun menjadi pengurus DPP PKB, tapi tak mendapat jabatan hingga kini.
Dalam laporan Majalah Tempo, bukan hanya Agus Suparmanto yang jadi gunjingan politik di internal PKB. Abdul Halim Iskandar yang dapat karpet merah (jadi menteri) karena kakak kandung Cak Imin, juga menimbulkan kecemburuan sosial.
Namun Cucun Syamsurijal, salah satu Ketua PKB, mengatakan bahwa Halim Iskandar disodorkan jadi menteri karena ia salah satu komandan pemenangan Jokowi-Kiai Ma’ruf dalam pilpres. Halim Iskandar menjabat Wakil Ketua Tim Kampanye Daerah. Tapi Yuli Andriani, mantan Bendahara Tim Kampanye Jawa Timur, mengaku tak pernah sekali pun bertemu Halim Iskandar dalam rapat pemenangan Jokowi-Kiai Ma’ruf.
Dalam sejarah PKB, sejak Cak Imin jadi ketua umum, aroma mementingkan keluarga memang terasa sekali. Lihat saja dalam kabinet Jokowi sebelumnya. Cak Imin menyodorkan Muhammad Nasir kepada Jokowi, di samping nama lain. Padahal Muhammad Nasir - yang lalu ditunjuk sebagai Menristekdikti - bukan pengurus PKB. Siapa dia? Siapa lagi kalau bukan kakak ipar Cak Imin. Nasir – seperti dikutip detik.com – menikah dengan Hasibyah. Karena itu, tak usah heran jika pada Kebinet Indonesia Maju Cak Imin menyodorkan kakaknya sendiri sebagai menteri, yaitu Abdul Halim Iskandar.
Begitu juga penunjukan orang luar PKB sebagai menteri. Pada Kabinet Jokowi sebelumnya, Rusdi Kirana - bos Lion Air - yang tak pernah bersinggungan dengan NU tiba-tiba disodorkan jadi menteri. Ia bahkan kemudian dipoles sebagai “kader PKB instan” dengan jabatan Wakil Ketua Umum di PKB. Hanya saja karena suatu “hal”, ia gagal jadi menteri tapi dikompensasi sebagai Duta Besar Malaysia. Kini Rusdi Kirana hengkang dari PKB.
Sejatinya, respons kiai-kiai NU terhadap susunan Kabinet Indonesa Maju terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, para elit NU struktural yang kecewa dan diekspresikan secara terbuka oleh Robikin Emhas.
Kedua, para kiai NU kultural yang direpresentasikan oleh KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah). Cucu pendiri NU Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari itu justru heran dengan sikap elit PBNU yang kecewa dan protes terhadap kebijakan Jokowi memilih menteri agama tak sesuai harapan mereka. Menurut Gus Sholah, NU wajar dapat jatah menteri karena para kiai NU berperan memenangkan Jokowi-Kiai Ma’ruf, di samping nahdliyin merupakan representasi umat Islam terbesar.
Tapi, kata Gus Sholah, NU tak wajar jika minta jatah menteri, apalagi menyodorkan nama, karena lobi politik itu domain partai politik. Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang itu selama ini memang getol bersuara keras agar NU tak terlibat politik praktis dan money politics.
Nah, dari dua pandangan berbeda itu, mari kita muhasabah (evaluasi diri) sekaligus kilas balik: seperti apa jati diri kultural NU. Review historis kultural NU itu urgen agar organisasi Ahlussunnah Wal Jamaah yang didirikan Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari itu tak selalu jadi “pendorong mobil mogok yang kemudian ditinggal ketika mesin mobil sudah hidup” seperti sekarang. Apalagi NU tak lama lagi akan menggelar Muktamar NU ke-34, yaitu pada 2020 mendatang.