Urgensi Muhasabah, Kembalilah ke Era Keemasan NU
Editor: MMA
Rabu, 06 November 2019 12:44 WIB
Dalam sejarah kultural NU, ada dua peristiwa penting terkait jabatan. Pertama, peristiwa KH Mahrus Aly dari Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Suatu saat KH Imron Hamzah - atas kesepakatan para kiai - sowan ke Lirboyo minta agar Kiai Mahrus Aly berkenan menjadi Rais Syuriah PWNU Jawa Timur. Tapi Kiai Mahrus Aly langsung menolak.
Kiai Imron Hamzah tak putus asa. Beberapa hari kemudian Kiai Imron Hamzah sowan lagi ke Lirboyo. Apa yang terjadi? Kiai Mahrus Aly langsung sakit. Kiai ahli silat itu mencret-mencret, – maaf – mungkin karena stres. Bahkan istri Kiai Mahrus Aly memohon kepada Kiai Imron Hamzah agar tak datang lagi ke Lirboyo. Karena setiap mendengar Kiai Imron Hamzah sowan, Kiai Mahrus Aly langsung sakit.
Artinya, saking tak bersedianya menjabat Rais Syuriah, Kiai Mahrus Aly sampai trauma mendengar nama Kiai Imron. Namun pada akhirnya, Kiai Mahrus Aly tak bisa mengelak ketika para kiai dan peserta Konferwil PWNU Jatim memberikan amanah sebagai Rais Syuriah PWNU Jatim. Karena dalam NU, juga ada ajaran bahwa amanah yang dimandatkan harus diterima dengan penuh tanggungjawab.
Peristiwa serupa terjadi pada KHR As’ad Syamsul Arifin. Menjelang Muktamar NU, para kiai minta Kiai As’ad berkenan jadi Rais Aam Syuriah PBNU. Namun Kiai As’ad menolak. “Meski Malaikat Jibril (pembawa wahyu) turun dari langit memaksa saya, saya akan menolak. Yang pantas Kiai Mahrus Aly, Lirboyo,” tegas Kiai As’ad.
Bagaimana respon Kiai Mahrus Aly? “Jangankan Malaikat Jibril, kalaupun Malaikat Izrail (pencabut nyawa) turun dan memaksa saya, saya tetap tak bersedia,” jawab Kiai Mahrus Aly.
Dari dua peristiwa sejarah ini jelas bahwa kultur asli NU berlomba menolak jabatan, bukan minta dan merebut jabatan. Memang ada yang bilang, dua kiai itu menolak jabatan kan jabatan di internal NU, bukan di pemerintahan. Logikanya, jika jabatan di internal NU saja mereka sangat tawaddlu, tak merebut bahkan menolak, apalagi jabatan di pemerintahan. Faktanya Kiai Mahrus Aly juga pernah menolak ketika ditawari jabatan di pemerintahan.
Kita tahu, di lingkungan NU kisah Sahabat Abu Dzar Al-Ghifari yang minta jabatan tapi dingatkan oleh Rasulullah bahwa jabatan itu berat sangat populer.
“Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu amanah. Sesungguhnya jabatan akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang yang menerimanya, kecuali ia mengambil dengan cara benar dan menunaikan amanah jabatan tersebut juga dengan benar.” Sejak itu Al-Ghifari benci jabatan.
Jadi NU memiliki watak kultural khas dan mulia. Dalam kultur NU asli – sekali lagi NU asli, bukan hibrid – sangat tabu minta jabatan. Maka, siapa pun yang minta jabatan berarti sudah tak sesuai adab dan kultur NU. Namun, sekali lagi, jika amanah jabatan sudah dimandatkan maka harus diterima dengan penuh tanggungjawab, tidak boleh disalahgunakan dan diselewengkan. Jadi yang perlu digaribawahi, dalam budaya NU bukan anti jabatan, tapi tidak boleh minta jabatan dan merebut jabatan, terutama lewat cara-cara tidak benar dan tidak legal.
Nah, kegagalan para kiai NU struktural menempatkan kader NU dalam jajaran kabinet Jokowi-Kiai Ma'ruf harus menjadi koreksi diri secara obyektif. Para kiai NU struktural perlu muhasabah agar ormas Islam terbesar berbasis pesantren itu tak selalu terjerumus ke dalam kubangan poliltik praktis tanpa manfaat yang berulang-ulang. Para elit NU harus mengingat kembali era kejayaan NU yang ternyata lebih terhormat, berwibawa dan bahkan disegani - dan tentu saja lebih bermanfaat dan berkah - dalam posisi politik kebangsaan, bukan politik kepentingan parsial partisan.
Era kejayaan NU itu terjadi pada dua zaman keemasan. Pertama, pada era para muassis (pendiri) dan seterusnya.
Kedua, era kejayaan NU terjadi pada grand design para ulama besar kita pada Munas dan Muktamar NU ke-27 pada 1984 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur yang secara historis telah menempatkan NU dalam sejarah keemasan dengan kembali ke khitah 26.
Output strukturalnya lahir duet kepemimpinan KH Ahmad Shidiq sebagai Rais Aam Syuriah PBNU dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ketua umum PBNU. Duet Kiai Ahmad Shidiq dengan Gus Dur itu benar-benar membawa NU ke jaman keemasan hampir mendekati kepemimpinan era para muassis NU. Duet dua ulama besar asal Jember dan Jombang itu sangat dahsyat bukan saja karena dua-duanya punya wawasan intelektual dan keagamaan tinggi tapi juga mempu meletakkan posisi NU ke real khittah 26 yang sebenarnya. Stresing garapan dan perjuangan NU pun jelas, tidak mengalami disorientasi seperti sekarang. Kiai Ahmad Shidiq fokus pada khittah NU, Aswaja dan revolusi kebudayaan, sedang Gus Dur pada bidang civil society dan ekonomi. Otomatis permberdayaan umat mulai tergarap saat itu.
Nah, dua era kejayaan NU itulah yang harus menjadi referensi utama perjalanan NU ke depan.
Ya, saatnya elit NU mendengar suara arus bawah (warga NU) yang selama ini meratapi NU karena ormas Islam yang didirikan para kiai dengan penuh tulus itu selalu terjerumus pada kubangan politik praktis dan partisan yang menggerus wibawa dan kehormatan NU. Bukankah basis massa NU lebih senang jika PBNU kembali ke khitah 26, tidak terlibat politik praktis sehingga bisa fokus pada pemberdayaan warga NU, terutama secara ekonomi, pendidikan, sosial dan intelektual?
Sekali lagi - suara warga NU itu sangat penting direspons terutama dalam Muktamar ke-34 mendatang. Wallahu’alam.
*Penulis adalah alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Unair yang kini mengelola HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com