Mengenang 100 Hari Wafat Gus Sholah, Tak Punya Mesin Ketik, Naskah untuk Media Ditulis Tangan
Editor: MMA
Senin, 11 Mei 2020 20:25 WIB
Oleh: M Mas’ud Adnan
Gus Sholah telah 100 hari meninggalkan kita. Senin, 11 Mei 2020, hari ini adalah peringatan 100 hari wafatnya tokoh nasional bernama lengkap Dr (HC) Ir KH Salahuddin Wahid itu. Putra KH A Wahid Hasyim dan cucu Hadratussyaikh KHM Asy’ari itu wafat pada 2 Februari 2020.
BACA JUGA:
Terima Dubes Jepang untuk Indonesia, Pj Gubernur Jatim Bahas Pengembangan Kerja Sama
Silaturahmi ke Keluarga Pendiri NU, Mundjidah-Sumrambah Minta Restu
Ziarah ke Makam Pendiri NU, Khofifah: Gus Dur dan Gus Sholah itu Guru Saya, Beliau Sosok Istimewa
Spirit Tebuireng, LPNU Jatim Tingkatkan Pendampingan Ekonomi Nahdliyin
Tak ada peringatan massal. Akibat wabah virus corona. Tapi para alumni dan santri Pesantren Tebuireng tetap menggelar khataman al-Quran. Begitu juga masyarakat luas. Terutama warga NU. Tetap menggelar tahlil. Dari rumah masing-masing.
Saya punya banyak kenangan saat bersama beliau. Saya ingin memantik memori saya. Tentang karakter beliau. Setidaknya ada sekitar 21 karakter beliau.
Gus Sholah sering kontak saya. Mengajak bertemu dan berdiskusi. Tentang NU, pesantren, umat, politik dan yang lain. Kadang saya diminta datang ke Tebuireng. Namun tak jarang saya diminta menemui beliau di hotel, tempat beliau menginap. Atau janjian bertemu di rumah makan.
Sering juga kami berdiskusi lewat HP, baik WA maupun telepon langsung. Dari kedekatan batin itulah saya sedikit bisa membaca tentang karakter Gus Sholah.
Apa itu karakter? Banyak definisi, terutama dari ahli psikologi. Tapi definisi yang diupdate wikipidea cukup representatif. Karakter atau watak adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya.
Bagaimana karakter Gus Sholah? Apa saja? Kok sampai 21 karakter?
1. Tak Banggakan Keturunan
Suatu ketika Gus Sholah minta saya agar dalam menulis berita tidak menghubungkan beliau dengan kakek dan ayahnya. Cukup ditulis Salahuddin Wahid atau Gus Sholah saja. Tak perlu disebut cucu Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari atau putra KH A Wahid Hasyim atau yang lain.
Saat itu saya hanya tersenyum. Sebagai wartawan saya sering menulis tokoh. Mereka umumnya justru bangga menceritakan silsilah keturunannya. Apalagi jika keturunan – maaf – kiai.
Gus Sholah justru sebaliknya. Ini tentu karakter luar biasa. Saya lalu ingat Sayyidina Ali. Karramallahu wajhah. “Inilah aku, bukan inilah ayahku,” kata sepupu dan menantu Rasulullah SAW yang kemudian menjadi khalifah keempat itu.
2. Sederhana sejak Mahasiswa
Gus Sholah memang figur sederhana dan apa adanya. Padahal Gus Sholah putra tokoh besar. The founding father RI. Bapak pendiri Republik Indonesia. KH A Wahid Hasyim.
Kesederhaan itu tampaknya sudah mewarnai kehidupan Gus Sholah sejak mahasiswa. Buktinya, meski putra tokoh besar, Gus Sholah tak pernah menunjukkan dirinya sebagai putra orang besar.
Dan ini klop dengan sang istri, Nya Hj Farida Salahuddin Wahid yang juga putri tokoh besar Prof KH Saifuddin Zuhri. Tapi tak pernah menonjolkan orang tuanya. Padahal Kiai Saifuddin Zuhri adalah Menteri Agama RI Kabinet Kerja III, Kabinet Kerja IV, Kabinet Dwikora I, Kabinet Dwikora II, dan Kabinet Ampera I.
“Perkenalanku dengan GS (Gus Sholah) yang sama-sama aktivis kampus,” tutur Nyai Farida kepada penulis. Saat itu Gus Sholah mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB ). Sedang Nyai Farida mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Jakarta.
“Kita sama-sama tidak tahu ortu masing-masing,” kata Nya Farida lagi. “Baru tahu, setelah hubungan kami serius. Ternyata orang tua kita bersahabat. Itulah yang dinamakan jodoh,” tambah Nyai Farida.
3. Rajin Menulis
Simak berita selengkapnya ...