Gus Sholah, KKNU dan Stigmatisasi Neo Khawarij NU
Editor: Tim
Sabtu, 28 November 2020 22:34 WIB
Oleh: M Mas’ud Adnan --- Nahdlatul Ulama (NU) punya khasanah (bahasa) baru: Neo Khawarij NU. Istilah seram ini diintroduksi KH Imam Jazuli, LC, MA, untuk mestigmatisasi kelompok kritis NU: Komite Khittah Nahdlatul Ulama (KKNU). Khawarij – seperti kita ketahui - adalah kelompok ekstrem dan brutal yang dipersonifikasikan Abdurrahman Ibnu Muljam, pembunuh keji Sayyidina Ali Karramallahu wajhah.
Kiai Imam Jazuli menyematkan stigma itu kepada KKNU dalam tulisannya berjudul Fenomena Neo Khawarij NU dan Khittah 1926 dilansir Tribunnews.com, Sabtu (28/11/2020). Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon itu bukan hanya menstigma KKNU dengan “kelompok kejam Khawarij” tapi juga menyebut para kiai itu dengan “segelintir”. Istilah yang biasa dipakai para propagandis untuk menyudutkan dan mengerdlikan lawannya.
BACA JUGA:
Puluhan Kiai dan Gawagis di Kabupaten Kediri Deklarasi Dukung Dhito-Dewi
Maulid Nabi Bersama Puluhan Ribu Muslimat di Pasuruan, Khofifah Ajak Teladani Akhlaq Rasulullah
Terima Dubes Jepang untuk Indonesia, Pj Gubernur Jatim Bahas Pengembangan Kerja Sama
Hadiri Muslimat NU Bersholawat Bersama Habib Syech, Khofifah: Jamaah yang Konsisten Mendoakan Bangsa
Nah, agar informasinya tak bias, baiklah saya tulis kronologi lahirnya KKNU. Semula KKNU berupa forum diskusi atau musyawarah tentang NU. Forum ini diinisiasi KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), cucu pendiri NU Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari. Saat itu Gus Sholah - yang juga putra pahlawan nasional KH Abdul Wahid Hasyim - adalah pengasuh Pesantren Tebuireng. Pesantren yang didirikan Hadratussyaikh yang - diakui atau tidak - telah melahirkan jutaan alumni.
Gus Sholah gelisah karena dalam Muktamar ke-33 NU pada Agustus 2015 di Jombang banyak praktik money politics. Para peserta Muktamar NU - terutama Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah PCNU dan PWNU - yang menginap di Pesantren Tebuireng digerilya dengan uang Rp 25 juta agar pindah ke pesantren lain.
Memang, pada hari-hari pertama, tiga pesantren - dari empat pesantren di Jombang - yang disiapkan panitia untuk penginapan peserta Muktamar NU, sangat sepi. Sebaliknya, Pesantren Tebuireng jadi rebutan peserta Muktamar. Alasannya, mereka ingin dekat dengan makam Hadratussyakh KHM Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Sepinya tiga pesantren itu menjadi berita media massa, termasuk Jawa Pos.
Namun pada hari berikutnya, sebagian peserta angkat kopor dari Tebuireng pindah ke pesantren lain karena mendapat iming-iming uang Rp 25 juta. Ada yang sembunyi-sembunyi, ada yang terang-terangan.
Ironisnya, operator money politics yang masuk ke Tebuireng terus terang. Terutama saat muncul isu terjadi “penculikan” peserta Muktamar di Tebuireng.
“Gak benar itu. Saya hanya menawarkan kerja sama. Kalau para kiai, Rais Syuriah mau kerja sama dengan kami, ini ada uang Rp 25 juta. Jadi saya tak memaksa, apalagi menculik,” kata seorang teman kader NU yang keluar-masuk Pesantren Tebuireng sembari tertawa.
Pintu gerbang Pesantren Tebuireng sempat ditutup gara-gara “relawan” money politics itu. Namun isu yang muncul, pihak Tebuireng mengarantina peserta Muktamar. Karena itu, pintu gerbang dibuka lagi.
Nah, pasca Muktamar NU yang semrawut politik uang itulah, Gus Sholah mengajak para kiai dan kader NU bermusyawarah. Gus Sholah sangat prihatin dengan money politics yang sudah merajalela. Sebenarnya, yang menjadi perhatian Gus Sholah bukan hanya politik uang di Muktamar NU, tapi sikap pragmatis dan problem moral para pemimpin pemerintahan yang berlatar belakang santri.
“Kenapa ya ketua DPRD lulusan pesantren masih korupsi. Padahal mereka sudah paham agama. Apa yang salah dengan pendidikan ini,” kata Gus Sholah kepada saya.
Gus Sholah lalu intensif mengkaji problem moral itu dengan para kiai dan kader muda NU. Pertemuan demi pertemuan dilakukan. Kadang bertempat di ndalem kasepuhan Pesantren Tebuireng. Tapi kadang di Surabaya, dan kadang di Jakarta, di ndalem Gus Sholah.
Bahkan saat resepsi pernikahan anak saya di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya, Gus Sholah memanfaatkan momen tersebut untuk menggelar pertemuan dengan para kiai dan kader NU yang hadir. Usai memberikan taushiyah di depan para undangan pernikahan anak saya, Gus Sholah dan para kiai menggelar pertemuan. Saya tak ikut karena sibuk menerima tamu undangan.
Kemudian disepakati mengawali gerakan moral kultural NU dengan “Napak Tilas” perjuangan para pendiri NU. Gerakan simbolik itu dimulai dari Pondok Pesantren Shaichona Kholil, Bangkalan, Madura. Di pesantren tersebut, Gus Sholah bersama para kiai menggelar pertemuan membahas tentang NU.
Beberapa minggu kemudian pindah ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo. Terakhir di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pertemuan di tiga pesantren tiga daerah itu merupakan poros utama NU.
“Ada istilah setiga emas: Tebuireng, Bangkalan, dan Sukorejo. Kiai Azaim dan juga saya masuk dalam group yang direkomendasi al-maghfur lahu KH Salahuddin Wahid. Sukorejo pernah ditempati pertemuan kelompok ini, tapi tidak ada tujuan mendirikan NU tandingan,” kata KH Afifuddin Muhajir, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo yang kini Rais Syuriah PBNU.
Selain Kiai Afifuddin Muhajir, dalam gerakan moral Gus Sholah itu memang ada KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo. Kemudian KH Fahmi Amrullah (Gus Fahmi), cucu Hadratussyaikh yang juga Kepala Pondok Putri Pesantren Tebuireng.
Lalu Dr KH Nashihin Hasan, orang dekat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Prof Dr Rokhmat Wahab, mantan ketua PWNU Yogyakarta, Ustdaz Hilmi, salah seorang keluarga KH Ilyas Ruhiyat Cipasung yang aktif di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok, Dr KH Husnul Khuluq, mantan ketua PCNU Gresik tiga periode, Dr KH Sofiyullah Muzammil (Gus Sofi), dosen UIN Suka Yogyakarta, KH Ahmad Sufiyaji (Gus Ahid), mantan anggota DPRD Jawa Timur dari PKB, Ahmad Sujono, mantan pengurus PWNU Jatim, Ustdaz Muhlas Syarqun, penulis buku Ensiklopedi Gus Dur, KH Misbahussalam (Sekretaris PCNU Jember), KH Wahid Asa, mantan Wakil Ketua PWNU Jatim, dan tentu saja saya sendiri (penulis artikel ini), di samping para kiai dan kader NU lain.
Saya, meski bukan kiai, selalu diminta hadir oleh Gus Sholah. Mungkin karena saya wartawan yang sering diajak diskusi oleh Gus Sholah. Bahkan kalau saya tak kelihatan di pertemuan, Gus Sholah kirim pesan lewat WhatsApp (WA). “Kok belum kelihatan.”
Gus Sholah terus bergerak. Ke berbagai pesantren. Di antaranya menggelar pertemuan di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Tentu atas restu dan dihadiri KH Nawawi Abdul Jalil, pengasuh pesantren tersebut.
Kemudian Gus Sholah menggelar pertemuan dengan para kiai di Pondok Pesantren Assuniyah Kencong Jember. Di pesantren yang diasuh KH Ahmad Sadid Jauhari, itu hadir para kiai dari kawasan tapal kuda, terutama para pengurus NU.
Semua aktivitas gerakan moral itu dibiayai secara swadaya. Konsumsi kadang ditanggung pesantren yang jadi tuan rumah. Tapi kadang biaya bersama. Yang pasti, tanpa sponsor. Apalagi bandar.
Yang menarik, semua kiai yang hadir tanpa bisyarah atau amplop. Uniknya, banyak pesantren yang siap ditempati meski harus menanggung konsumsi. "Kalau soal konsumsi siap, tapi kalau uang transport maaf, tak sanggup," kata seorang kiai pengasuh pesantren.
Melihat perkembangan positif ini, saya bilang kepada teman-teman. “Kalau gerakan ini terus eksis, luar biasa. Karena kiai yang biasanya datang ke suatu acara dikasih bisyarah, sekarang tak dikasih apa-apa. Padahal mereka datang dari jauh dan bawa mobil sendiri,” kata saya.
Ini memang gerakan belajar ikhlas dan bersih-bersih money politics. “Ya, kita lihat aja, beberapa bulan ke depan. Masih tetap banyak yang hadir atau semakin berkurang,” timpal teman yang lain. Faktanya, gerakan moral itu terus berjalan. Mungkin karena faktor figur Gus Sholah. Terutama sebagai cucu Hadratussyaikh.
Simak berita selengkapnya ...