Pemerintah Lakukan Kemungkaran, Bolehkah Kudeta?
Editor: MMA
Senin, 21 Desember 2020 12:12 WIB
Khariri Makmun* --- Indahnya Islam akan nampak ketika segala sesuatu diletakkan sesuai proporsi dan tempatnya.
Umat Islam Indonesia cenderung berpaham pada manhaj Islam yang wasatiyah (moderat). Pola pemahaman agama yang moderat membuat umat Islam di nusantara tidak bersumbu pendek atau mudah tersulut emosinya oleh provokasi pemikiran radikal yang mudah panas dan meledak-ledak.
BACA JUGA:
Dibuka Presiden Jokowi, Pj Gubernur Jatim Hadiri Pembukaan MTQ Nasional XXX Samarinda
Peresmian Flyover Djuanda, Presiden Jokowi Minta Pemkab Sidoarjo Terus Tingkatkan Pembangunan
Dampingi Presiden Jokowi Resmikan Flyover Juanda, Pj Gubernur Jatim Ucapkan Terima Kasih
Dampingi Presiden Blusukan ke Pasar, Pj Gubernur Jatim: Harga Bahan Pokok Stabil dan Inflasi Terjaga
Ibarat mesin mobil, jika cooling system tidak bekerja dengan baik, maka mesin akan cepat panas. Jika panasnya terus naik tidak terkontrol, maka bisa terjadi kebakaran atau ledakan.
Membaca konstelasi politik tanah air, kita sedang dihadapkan pada banyak isu besar, seperti isu penanganan Covid-19, isu vaksin, korupsi bansos, korupsi benih lobster, terbunuhnya 6 laskar FPI, penahanan HRS, dan isu-isu besar lainnya.
Di tengah gelombang isu-isu besar yang dihadapi negeri ini, kini sebagian kecil kelompok umat beragama mengembangkan wacana perlunya presiden dilengserkan secara inkonstitusional yaitu melalui kudeta atau revolusi.
Alasan revolusi ini karena presiden dianggap melakukan kedzaliman dan kemungkaran. Dalam pandangan mereka, pemerintahan yang dzalim boleh dikudeta.
Benarkah demikian?
Rasulullah SAW dalam Hadits riwayat Muslim melarang penggulingan pemimpin negara yang sah meskipun dzalim, selama pemimpin tersebut masih melakukan shalat.
سَتَكُونُ أُمَراءُ فَتَعْرِفُونَ وتُنْكِرُونَ، فمَن عَرَفَ بَرِئَ، ومَن أنْكَرَ سَلِمَ، ولَكِنْ مَن رَضِيَ وتابَعَ قالوا: أفَلا نُقاتِلُهُمْ؟ قالَ: لا، ما صَلَّوْا.
"Akan muncul pemimpin yang kalian kenal tapi kalian menyetujuinya. Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa), orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya (tidak terbebaskan dari tanggungan dosa)".
Mereka (para sahabat) bertanya: apakah boleh kami perangi mereka?
Nabi menjawab: Tidak, selagi mereka masih menunaikan shalat. (HR. Muslim)
Seorang penguasa yang melakukan kemungkaran selama masih menunaikan shalat tidak boleh diperangi atau dikudeta. Karena kemunkarannya tidak boleh menjadi alasan untuk menghalalkan darahnya.
Hujjatul Islam Imam Ghazali dalam Faishal At tafriqoh baina al-iman wal Zindiqah menegaskan, hendaklah tidak mengkafirkan seorang muslim sebisa mungkin, karena sesungguhnya menghalalkan darah orang-orang yang shalat dan berikrar dengan tauhid merupakan kesalahan besar.