JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Kritik tajam terhadap perguruan tinggi (PT) kita dilontarkan Prof Dr Mikrajudin Abdullah. Menurut dia, PT kita peringkat universitas terbaik Indonesia masih jauh di bawah universitas di negara Afrika, seperti Addis Ababa University, Ethiopia.
Kenapa itu terjadi? Salah satunya karena ilmuwan kita malas ketika bergelar profesor. Benarkah?
BACA JUGA:
- Gaji Kecil, Viral #JanganJadiDosen, Kenapa Gaji ASN Depkeu, Depdagri, Pajak, BUMN Besar?
- Tanggapi Pernyataan Bahlil, Surokim: Lebih Baik Percaya Kampus Ketimbang Politikus
- Kolaborasi Internasional, Pascasarjana Unisma Kerja Sama dengan Perguruan Tinggi Malaysia
- Sebut Kiai Asep Virus, Cara China Didik Anak, Kiai Imam Jazuli: Kelola Pesantren Tak Butuh Profesor
Simak tulisan wartawan kodang, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA hari ini, 14 Juli 2022. Atau di BANGSAONLINE.com di bawah ini. Selamat membaca: (PENGANTAR REDAKSI BANGSAONLINE)
DI TENGAH kebanggaan sebagai penyelenggara KTT G-20 ada renungan tajam dari seorang profesor di ITB. "Perguruan tinggi kita belum di level G-20. Yang terbaik di kita baru sama dengan perguruan tinggi terbaik di Ghana, Afrika," tulisnya di Facebook-nya pekan lalu.
Pemilik Facebook itu adalah Prof Dr Mikrajudin Abdullah. Panggilannya Mikra. Ia guru besar MIPA Institut Teknologi Bandung. S-3nya dari Hiroshima University, Jepang. Disertasinya tentang nano komposit. Ia doktor kimia tapi untuk tingkat itu sudah nyaris menyatu dengan ilmu bahan.
"Dengan menggunakan indikator reputasi perguruan tinggi, jumlah pemenang hadiah Nobel, dan jumlah ilmuwan internasional, reputasi akademik Indonesia berada di posisi terakhir di antara anggota G20 lainnya," tulis Prof Mikra.
"Berdasarkan Times Higher Education 2022, tiga perguruan tinggi terbaik Indonesia hanya menempati posisi seribuan: UI (801-1000), ITB (1001-1200), dan UGM (1201+). Posisi ini jauh di bawah universitas terbaik di negara berkembang anggota G20," tambahnya.
Prof Mikra menyebut University of Cape Town, Afrika Selatan (183), University of Buenos Aires, Argentina (176-200), King Abdulaziz University, Saudi Arabia (190), University of Sao Paulo, Brazil (201-250), Indian Institute of Science, India (301-350), Cankaya University, Turki (401-500), dan Monterrey Institute of Technology, Mexico (601-800).
"Bahkan peringkat universitas terbaik Indonesia masih jauh di bawah universitas di negara Afrika, seperti Addis Ababa University, Ethiopia (401-500), University of Nairobi, Kenya (501-600), University of Lagos, Nigeria (501-600), dan Makerere University, Uganda (601-800)," tulisnya. "Universitas terbaik di Indonesia hanya setara dengan University of Ghana, Ghana (1001-1200) dan University of Botswana," tambahnya.
Jleb.
Banyak yang mendukung pendapat itu. Tentu ada juga yang tidak setuju. Terutama ukurannya itu.
Prof Mikra lahir di Dompu, Sumbawa. Kini berusia 54 tahun. Jurnal ilmiahnya mencapai 110. Jurnal tentang solar cell saja 4 buah. Ia memang menemukan teknologi baru material solar cell.
Sejak SMP di Dompu Prof Mikra sudah ingin kuliah di ITB. "Waktu saya SMP berita mengenai pembuatan CN235 di Bandung lagi gencar-gencarnya. Saya ingin seperti Pak Habibie," ujar Prof Mikra kemarin.
Itulah sebabnya Mikra ingin meneruskan SMA di Mataram. "Waktu itu belum ada lulusan SMAN Dompu yang bisa diterima di ITB," katanya. Maka ia masuk SMAN 1 Mataram, di Lombok. Ia kos di ibu kota NTB itu. Ayah ibunya mendukung. Suami istri ini sama-sama guru SD.
Prof Mikra menulis juga tentang penyebab mengapa nasib perguruan tinggi kita seperti itu. Yang pertama, sama dengan pendapat Anda: anggaran riset yang super kecil. Hanya 0,3 persen dari PDB. Turki 1,1 persen. Meksiko 0,9 persen. Tidak perlu dibandingkan dengan negara anggota G-20 yang maju.
Penyebab kedua, ini tumben Anda belum tahu, ilmuwan kita menjadi malas kalau sudah mendapat gelar profesor. "Menjelang mendapat gelar bukan main gigihnya. Begitu tujuan tercapai bermalam-malas," tulisnya, kurang lebih. Padahal, setelah jadi guru besar pun harusnya tidak berhenti melakukan penelitian
Prof Mikra sendiri melakukan banyak penelitian. Di samping soal solar cell, ia juga menemukan material coating untuk tiang pancang di daerah yang tanahnya lempung.
Ia juga meneliti air limbah agar bisa menjadi air minum. Lewat proses nano katalis. Bukan lewat nano membran seperti yang ditemukan guru besar ITB lain, Prof Dr I Gde Wenten.
Material solar cell yang ditemukan Mikra itu belum ada di dunia saat ini. Bahan bakunya murah sekali. Ada di dalam negeri. Proses pembuatannya juga sederhana. Sel Surya temuan Prof Mikra berbasis TiO2 dan Grafit. Menggunakan metoda tetes (droplet) dengan penyisipan mineral residu sebagai hole scavenger.
Sepuluh tahun Prof Mikra dan tim ITB melakukan penelitian bidang itu. Sejak 2008. Prinsipnya: bagaimana titanium bisa dipadukan dengan oksigen tanpa bisa menyatu. Yang satu elektron, satunya lagi hole. Listrik negatip dan positif. Agar keduanya tidak menyatu dimasukkanlah unsur nano partikel untuk memisahkannya.
Tapi mengapa temuan seperti itu belum dimanfaatkan di dunia nyata?