Sekali Tampil Rp 30 Juta, Dalang Remaja Anshor Mau Lanjutkan Sekolah ke Madrasah Aliyah

Sekali Tampil Rp 30 Juta, Dalang Remaja Anshor Mau Lanjutkan Sekolah ke Madrasah Aliyah Dahlan Iskan bersama Muhammad Yusuf Anshor. Foto: disway

GUNUNG KIDUL, BANGSAONLINE.com Masa depan dunia perwayangan tampaknya tetap cerah. Revolusi teknologi digital yang kadang identik dengan penggusuran terhadap produk dan budaya tradisional juga bukan ancaman. Bahkan sebaliknya, justru memperkuat eksistensi kesenian wayang.

Setidaknya, inilah yang terjadi pada Muhammad Yusuf Anshor, dari Yogyakarta. Faktanya, ia justru banyak memanfaatkan YouTube untuk penampilannya. Bahkan ia juga banyak belajar pada dalang di YouTube.

Baca Juga: Pemilu Dungu, Pengusaha Wait and See, Ekonomi Tak Menentu

Anshor bahkan kini mulai menjadi idola. Banyak tanggapan. Sekali tampil Rp 30 juta. Wow.

Penontonnya di YouTube juga banyak. Ratusan ribu. Anshor telah menjadi generasi dalang yang hebat. Sehhingga dunia wayang tetap cerah.

Kita memang prihati. Banyak dalang meninggal. Tapi kata pepatah: Patah tumbuh hilang beganti. Salah satu penggantinya: Muhammad Yusuf Anshor!

Baca Juga: Bersih Desa Urek-Urek Tanggap Wayang Kulit, Bupati Malang Apresiasi Pemdes Pertahankan Tradisi

Tapi benarkah ia bukan keturunan dalang? Apa benar ia akan melanjutkan ke Madrasah Aliyah?

Silakan simak tulisan renyah wartawan kondang, Dahlan Iskan, di BANGSAONLINE.com edisi Jumat, 7 April 2013. Selamat menikmati:

WAKTU bermalam di kota Tabuk dulu sebagian pikiran saya di . Ke seorang remaja kelas tiga SMP. Sepulang dari Makkah saya harus menemuinya.

Baca Juga: Tiongkok Banjir Mobil Listrik

Maka di Safari Ramadhan ini, Selasa sore pekan lalu, saya ke . Saya mencari

remaja itu ke sebuah desa sekitar 2 jam dari Yogyakarta. Ketemu. Rumahnya mewah –mepet sawah. Di sebuah pinggir sungai yang dua tahun lalu menimbulkan bencana banjir bandang.

Nama remaja ini sudah saya hafal sejak di atas bus selama 12 jam antara Madinah-Tabuk: Muhammad Yusuf Anshor. Di bus itulah saya berkenalan dengannya: lewat YouTube. Rasa bete kadang diperlukan untuk mengenal sesuatu yang baru.

Baca Juga: Hati Rakyat Sulit Dibeli, Partai Penguasa Gagal Menang

Remaja Disway ini barang baru bagi saya: semuda itu kok sudah bagus memainkan wayang kulit. Ia sudah seorang dalang. Dari penampilannya ia sudah mengalahkan banyak yang lebih tua.

Sepanjang jalan bagian utara Arab Saudi itu saya pun menonton Anshor. Pikiran saya langsung ke dalang idola Seno Nugroho. Apalagi kalau Anshor lagi memainkan tokoh Bagong. Logat Bagongnya persis almarhum Seno.

Padahal Anshor bukan anak atau cucu dalang. Ayahnya seorang buruh. Serabutan. Di sebuah supermarket dekat desa itu.

Baca Juga: Anak Muda Israel Full Stress

Anshor sudah suka wayang sejak kecil. Banyak anak desa yang seperti itu. Orang tua mereka membelikan wayang yang terbuat dari karton.

Ibunda Anshor tahu anak kecilnya ingin juga punya wayang. Sang ibu tidak punya uang.

Maka sang ibu sendiri yang membuatkan wayang dari bahan kertas untuk Anshor. Yakni tokoh Adipati Basukarno. Yang dibuat dengan pisau dapur dan gunting. Yang diwarnai dengan goresan krayon. Yang diisi roh lewat doa sang ibu.

Baca Juga: Doni Monardo Bekerja Habis-habisan

Maka di mata si kecil Anshor, kertas Adipati Karno itu menjadi seperti benda hidup. Ia mainkan. Terus. Sampai lungset. Lalu dibuatkan tokoh lainnya. Ditiupkan lagi doa ibu ke ubun-ubun wayang itu. Anshor memainkannya siang malam.

Setelah masuk SD, Anshor mulai melihat wayang di YouTube. Ia, seperti juga anak muda lainnya, menyukai dalang Seno. Nonton penampilan dalang Seno itulah keasyikan Anshor di waktu kecil.

"Jadi, Anda belajar mendalang dari YouTube?" tanya saya.

Baca Juga: Pj Wali Kota Kediri Tonton Wayang Kulit Lakon Begawan Tjiptoning Tapa Brata

"Iya," jawabnya.

Bukan main.

Setelah remaja barulah ia mendapat bimbingan dari dalang beneran. Dari  sendiri. Namanya: Ki Sulis Priyanto. Ki Sulis merupakan sarjana pedalangan yang jugan melakukan pendampingan desa budaya.

Baca Juga: Di PSM Summit 2023, Gubernur Khofifah Dorong Lahirnya Sosok Inovator dari Kalangan Santri

Saat ini, total, sudah sekitar 50 video penampilan Anshor di YouTube. Pemirsanya ratusan ribu. Banyak dalang lebih terkenal yang penggemarnya di bawah itu.

Berarti Anshor sudah laku dijual. Semua yang ada di YouTube itu adalah rekaman live streaming saat Anshor mendalang beneran di depan umum.

"Kapan kali pertama ditanggap?"

“Tiga tahun lalu. Ketika kelas 1 SMP," jawabnya.

Itulah kali pertama Anshor mendalang dapat bayaran. Yakni di sebuah pernikahan di desa itu.

Baru itungan ratusan ribu rupiah.

Orang ternyata senang. Lihatlah suluknya, nyaris sempurna. Ketika mengucapkan dialog, Anshor bisa menyembunyikan suara remajanya. Suaranya begitu dewasa saat di pakeliran. Keruan saja di kelas 3 SMP sekarang ini yang nanggap Anshor sudah begitu banyak.

"Lebaran hari kedua nanti pun sudah mendalang di sebuah acara perkawinan," ujar sang

ayah. Kini sang ayah merangkap manajer Anshor. Mirip ayah penyanyi "Ojo dibanding-

bandingke" Farel Prayoga.

Di hari Lebaran nanti itu bukan hanya di hari kedua yang di-book. Juga hari ketiga, keempat, kelima, ke enam dan ketujuh. "Enam hari berturut-turut," ujar sang ayah.

Begitu laris.

Sudah bisa pasang tarif. Inilah anak kelas 3 SMP yang sudah punya tarif Rp 30 juta/tampil semalam. Tentu itu harus dipotong sewa gamelan, honor penabuh dan sinden –penyanyi lagu- lagu Jawa.

Anshor telah jadi seniman Jawa yang membanggakan.

Setelah menonton lebih 10 penampilan Anshor di YouTube saya berkesimpulan anak ini punya bakat yang luar biasa. Tidak mudah menjadi dalang. Ia harus vokalis, komedian, teater, sinematograf, penari dan gabungan begitu banyak kesenimanan.

Waktu berjumpa di teras rumahnya, rumah bapaknya, saya sampaikan pertanyaan yang saya simpan sejak di jalan antara Madinah-Tabuk: mengapa tidak mengikuti jenis suara dalang Seno untuk tokoh Sengkuni. Saya tidak puas dengan suara Anshor untuk tokoh Sengkuni.

Kurang pas. Kurang "pengkhianat".

Ternyata Anshor sengaja ingin membuat suara Sengkuni seperti itu. "Sengaja saya buat nggece," ujar Anshor. Saya tidak paham bahasa apa itu nggece." Seperti suara dalang Hadi Sugito," ujarnya.

"Dalang terkenal dari Yogyakarta itu?" tanya saya.

"Iya," jawabnya.

"Lho, beliau kan sudah meninggal jauh sebelum Anda lahir?" tanya saya.

"Saya lihat di YouTube,"jawabnya.

Saya senang berada di Desa Katongan, Nglipar, ini. Apalagi di senja hari seperti ini. Padi menghijau, langit memerah dan perut lapar puasa mencapai puncaknya.

Saya tidak mau merepotkan tuan rumah. Saya pamit menjelang saat berbuka puasa. Ibunda Anshor bergegas menyusulkan tas kresek plastik. "Bisa untuk berbuka di jalan," katanyi.

Isinya lengkap sekali: empat botol air putih, ketela rebus, lepet dibungkus daun kelapa dan kacang rebus.

Saya pun menuju Yogyakarta. Bos Rich Hotel sudah menanti saya untuk makan malam di hotelnya yang gandeng dengan Yogyakarta Mall itu. Saya juga sudah janji untuk salat malam di masjid Jagakaryan dan disambung ke pondok Krapyak di dekatnya.

"Anda sudah punya jadwal begitu padat untuk mendalang. Masih tertarik meneruskan ke

SMA?" tanya saya.

"Harus," jawabnya.

"Ke SMA mana?"

"Ke Madrasah Aliyah Negeri Wonosari," jawabnya.

Saya pun mengayunkan tangan kanan. Ia pun menyambut dengan menaikkan telapak tangan kanannya: toast! (Dahlan Iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO