Fikih Kentut: Ulah Syetan Meniup Dubur agar Kita Ragu Wudlu Batal apa Tidak

Fikih Kentut: Ulah Syetan Meniup Dubur agar Kita Ragu Wudlu Batal apa Tidak Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie.

Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie

Rubrik ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Anbiya': 74-75. Selamat mengaji serial tafsir Al-Quran yang banyak diminati pembaca di seluruh Indonesia bahkan warga Indonesia yang tinggal di luar negeri:

Kentut adalah salah satu proses alami di dalam tubuh kita yang sudah diatur oleh Tuhan demi kesehatan manusia itu sendiri. Dari makanan yang membusuk di dalam perut atau apa saja yang mengandung gas dan menumpuk, sehingga perlu pembuangan. Tuhan telah mengaturnya secara otomatis dan melegakan.

Bisa dibayangkan, betapa sakitnya bila angin busuk tersebut tidak bisa keluar. Terbayanglah kerja dokter, rumah sakit dan biaya yang tidak sedikit. Itulah sebabnya, maka di dalam kesehatan terdapat dua rumus global yakni : pemasukan lancar dan pembuangan juga lancar.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Makanya, dalam agama, baik saat pemasukan maupun saat pembuangan, seorang beriman dituntut memuji kebesaran Tuhan, dengan berucap “Al-Hamd Lillah”. Selesai makan dan minum, berucap “Al-Hamd Lillah”. Lengkapnya, : Al-Hamd Lillah al-ladzi ath’amani wa saqani”. Segala puji bagi Allah Dzat yang telah memberiku makan dan minum.

Begitu juga selesai buang kotoran, juga berucap: ”Al-Hamd Lillah”. Lengkapnya, :”Al-Hamd Lillah al-ladzi adzhab ‘anni al-adza wa ‘afani”. Segala puji bagi Allah DZat yang telah membuang penyakit dariku dan membuatku sehat.

Kedua pemujian tersebut, baik saat selesai makan maupun selesai buangan adalah ucapan terima kasih kepada Tuhan, Sang maha pengasih. Hukumnya sama- sama “harus”. Andai boleh diskor, mana yang paling urgen, berucap syukur saat selesai pemasukan atau pembuangan..?

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Rasanya lebih dianjurkan saat selesai pembuangan dari pada saat selesai makan dan minum. Perhitungannya begini : bila kita tidak bisa buang kotoran, maka membahayakan dan mengancam nyawa. Tapi kalau kita tidak makan, masih lama bisa bertahan hidup. Apalagi ada kompensasi, seperti infuse dan lain-lain.

Timbullah pertanyaan, mengapa tidak popular dalam fikih kita agar berucap “Al- Hamd Lillah“ saat selesai buang angin atau kentut, seperti anjuran saat buang kotoran..?.

Sesunggnya sama saja. Tetapi, karena kentut itu biasanya terjadi sewaktu-waktu bahkan sering saat kita ada di tempat terbuka dan bersinggungan dengan orang lain, juga baunya tak sedap dan membuat orang lain tidak nyaman, juga jorok kedengarannya, maka ada etikanya. Tidak sama dengan buang kotoran , di tempat tertutup dan khusus. Etika mengatur :

Baca Juga: Khotmil Quran dan Santunan Anak Yatim Awali Rangkaian HUT ke-10 BANGSAONLINE

Pertama, dalam posisi apapun, setelah buang angin kita dianjurkan memuji kebesaran Tuhan, Al-Hamd Lillah. Dengan suara lirih, dibatin saja, saat banyak orang. Saat sendirian.., bebas, tapi tetap sopan di hadapan Tuhan.

Kedua, keluarlah dari pergumulan orang saat mau kentut yang diyakini jorok, tidak sopan, berbau dan mengganggu. Minta izin keluar sebentar, cukup dengan isyarat, tanpa menjelaskan. Dan tidak baik menahan kentut.

Ketiga, di dalam agama ada dua istilah kentut, yakni : Dlurath dan Fusa’. Dlurath atau Dlirath adalah kentut yang bersuara kuat atau berbau menyengat.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Sementara Fusa’ tidak demikian. Dalam fikih, yang membatalkan wudlu atau shalat itu kentut yang berbau, meski ringan atau ada suara meski lirih. 

Jika sekedar terasa seperti keluar angin, terasa kayak ada kentut, tetapi tidak ada suara yang terdengar dan tidak ada bau yang tercium sama sekali, maka itu ulah yang sengaja meniup-niup lobang dubur kita secara halus. Lalu mengelitik hati kita agar ragu. Itu TIDAK membatalkan dan katakan kepada :”kazzabta”, bohong kamu.

Keempat, basah-basah di daerah seputar dubur yang biasanya sedikit lembab dan berbau, mungkin akibat gesekan dengan bau kentut, maka itu dihukumi tidak najis, alias ditoleransi. Shalat Anda tetap sah.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Sensasi Naik Kapal Cepat ke Pulau Sabang, Perjalanan Jurnalistik CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO