Pemikiran Gus Dur dalam Pandangan KH A Hasyim Muzadi Disampaikan di Monash University

Pemikiran Gus Dur dalam Pandangan KH A Hasyim Muzadi Disampaikan di Monash University KH Hasyim di Sydney Australia

PERTAMA kali saya ketemu tahun 1979 di Muktamar NU Semarang ( Muktamar NU ke 26) dan ketika itu belum masuk di pengurus NU sedangkan saya sudah mewakili utusan NU Cabang Malang. Didalam muktamar ke 26 Itu diangkat menjadi wakil katib PBNU. Setelah pertemuan di Semarang sangat sering ke Jawa Timur, karena memang Jawa timur adalah pusat potensi NU dan sering juga menginap di Malang karena mengajar Islamologi di Yayasan Kristen GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) yang berlokasi di Sukun Kota Malang.

Saya mendampingi dan mengikuti selama 20 tahun penuh mulai tahun 1979-1999 ketika menjadi Presiden Republik Indonesia. Setelah menjadi Presiden RI Fokus memimpin PKB dan saya menjadi Ketua Umum PBNU di Muktamar Lirboyo (Muktamar NU ke 30). Dalam waktu 20 tahun saya mengikuti betul jalan pikiran baik masalah ke-Nu-an, Keislaman Indonesia, Keislaman Global dan situasi politik Internasional.

Baca Juga: Peringati Hari Jadi Kabupaten Pasuruan, Barikade Gus Dur Gelar Karnaval Akbar

Menurut pandangan saya di dalam membawakan Islam baik di Indonesia maupun di dunia, lebih mengetengahkan pendekatan filosofi religius, etika religi, kemanusiaan (Humanity) dan budaya. Sedikit saja menggunakan ilmu fiqih sebagai bagian dari syariat, karena yang diketengahkan bukan legal syariatnya tetapi hikmatutasyri’nya dan maqoshiduttasyri’nya.

Dalam pendekatan etika religi, sangat egaliter menempatkan manusia dalam posisi yang setara, terlepas dari agama yang dipeluknya. Sehingga hubungan etis ini menjadi sangat cair antara yang muslim dan nonmuslim, bahkan yang atheis sekalipun.

Dalam hal pendekatan kemanusiaan sangat mementingkan martabat dan kebutuhan asasi dari manusia itu sendiri, sebagai bentuk dari kasih sayang Allah kepada seluruh mahluknya. Dalam hal ini kemanusiaan diletakkan pada rahmaniah Allah sedangkan rahimiah Allah dikhususkan untuk kaum muslimin di Akhirat. Sedangkan pandangan terhadap budaya dapat dikatakan sebagai wujud konkret dari filosofi, etika dan kemanusiaan itu sendiri.

Baca Juga: Mengingat Kembali Deklarasi Ciganjur, Pentingnya Menjaga Konstitusi dan Kedaulatan Rakyat

Dari pola pemikiran dan pandangan keagamaan/keislaman seperti ini, pastilah akan membuat mayoritas umat islam di Indonesia menjadi kaget dan terheran-heran. Karena mainstream umat Islam di Indonesia bertumpu kepada masalah tauhid dan masalah fiqih yang hitam putih. Apalagi buat mayoritas umat Islam Indonesia yang suka bertengkar di bidang furu’ akan semakin sulit memahami pola pikiran .

Ditambah lagi semenjak tahun 2002 (pasca reformasi) banyak aliran keras yang tidak hanya bertikai sesama Islam tetapi merembet kepada saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Dalam fenomena ini akan semakin jauh jarak pandangannya.

Tidak heran kalau kemudian secara parsial ada umat Islam yang mengatakan bahwa sesat karena memang berbeda cara pandangnya. tidak pernah merasa keberatan apa-apa untuk dikatakan sesat, karena sangat mengetahui hal tesebut berangkat dari pemikiran legal formal yang hitam putih.

Baca Juga: Kiai NU Bela Habaib, Air Susu Dibalas Air Tuba

Tetap saja bersilaturahmi kepada semua pihak bahkan tokoh tokoh yang tidak setuju pendapatnya, karena menurut sendiri kelompok yang tidak setuju merupakan sesuatu yang logis saja sebagai akibat dari sistem pemikiran.

Posisi saya selama 20 tahun bersama-sama dan mendampingi beliau bertindak sebagai penjelas dari pikiran dan ucapan-ucapan yang sulit dipahami oleh masyarakat awam. Misalnya, tentang Assalamu‘alaikum diganti dengan selamat pagi, mengajar di lembaga pendidikan Kristen, menganggap semua agama sama saja serta toleransi budaya yang sangat tinggi dan sebagainya.

Pada umumnya warga nahdliyin mulai mengerti sekalipun kadang optimal dan kadang tidak optimal. Tetapi tetap saja masyarakat NU mencintai bukan semata karena pemikirannya tapi karena cucu Hadratusyeikh KH. Hasyim Asy’ari dan putra sulung dari KH. Wahid Hasyim . Hal ini tentu berbeda dengan orang yang berpendapat sama tetapi bukan trah Tebuireng.

Baca Juga: Ziarah ke Makam Pendiri NU, Khofifah: Gus Dur dan Gus Sholah itu Guru Saya, Beliau Sosok Istimewa

sejak waktu yang lama sudah bercita-cita menjadi presiden RI dan yakin kalau itu akan terjadi. Oleh karenanya di dalam diri ada dua hal yang bisa dibedakan sekalipun tidak bisa dipisahkan yakni :

Pertama, pemikiran keagamaan dan universalitasnya. Kedua, Strategi politis untuk mencapai jenjang presiden.

Untuk pemikiran sudah saya sampaikan di atas, dan untuk strategi menjadi presiden haruslah mempunyai dukungan dari kaum nasionalis indonesia. Secara global diperlukan kedekatan ke dunia katolik (Vatikan) dan beberapa tokoh yang dekat kekuatan Israel, misalnya, dengan masuk ke Yayasan Simon Peres dan sebagainya. Hal-hal yang strategis ini saya tidak ingin mencampuri terlalu dalam karena bisa mengganggu tujuan dan saya pun tidak pernah menjelaskannya kepada masyarakat nahdliyin.

Baca Juga: Kesepakatan Gus Dur-Kiai Hasyim Muzadi soal Hubungan PBNU dan PKB

telah berjasa besar kepada Nahdlatul Ulama, utamanya di bidang perluasan wawasan sehingga dalam 4 tahun menjabat sebagai wakil katib PBNU, mempersiapkan khittah 1926 yang kemudian berhasil digolkan di Muktamar Situbondo tahun 1984. Khittah 1926 berisi :

a. Penyambungan wawasan keagamaan dan wawasan kebangsaan. Hal ini diperlukan agar maqosidutasyri’ yang diperjuangkan NU dapat dimasukkan dalam mengisi negara melalui bahasa nasional.

b. Pemisahan NU dari partai politik (ketika itu PPP), agar posisi NU murni pada civil society tidak terkooptasi dengan pemikiran politis yang berpijak kepada untung rugi, kekuasaan dan politisasi. Sehingga NU dapat secara murni berbicara tentang kebatilan dan kebenaran serta kemaslahatan umat tanpa memandang golongan-golongan politik.

Baca Juga: Kiai Asep Pimpin Istighatsah Temu NU se-Dunia di Makkah, Dihadiri 2.000 Warga NU

c. Penetapan Pancasila sebagai asas perjuangan negara dan akidah Ahlusunnah wal jama’ah (annahdliyah) sebagai landasan keagamaan.

d. Menggalang persaudaraan muslimin seluruh dunia utamanya yang berpaham Ahlussunnah wal jamaah.

e. Bergerak di bidang pengembangan sosial (Mabadi Khairo ummah) baik di bidang pendidikan, pesantren, ekonomi, budaya, serta politik kebangsaan bukan politik kepartaian.

Baca Juga: Diganggu Makhluk Halus saat Duduki Kursi Soekarno di Istana, Gus Dur Ajak Komunikasi Bahasa Jawa

7. Ide-ide strategis dari ini tidak gampang diterima oleh mainstream warga nahdliyin pada waktu itu yang masih mempertetangkan antara Islam dan Pancasila. Sekalipun sudah dijelaskan bahwa strategi itu sangat perlu untuk Nahdlatul Ulama, tetap saja para ulama meminta justifikasi legal formal di dalam quran dan hadits serta siroh nabawiah. Terjadilah perdebatan sengit antar ulama NU dalam Munas Alim Ulama setahun sebelum muktamar 1984.

Akhirnya adalah KH. Ahmad Siddiq yang menjembatani pemikiran strategis ini dengan pendekatan legal formal, utamanya dengan mengambil makna dari piagam Madinah.

Ternyata di piagam madinah tidak menyebut istilah Negara Islam tetapi kesepakatan (referendum penduduk Madinah). Yang terpenting dari isi piagam tersebut adalah pengisian bentuk negara dengan prinsip ajaran agama Islam. Misalnya, persaudaran di kalangan kaum muslimin, penegakan hukum secara adil, hubungan lintas agama, pemerataan ekonomi, memegang amanat dalam berpolitik, dan kepribadian Islam dalam kebudayaan.

Baca Juga: Gus Dur Enggan Dipanggil Kiai, Lebih Suka Dipanggil Gus, Alasannya Kocak

Akhirnya disetujui konsep khittah itu tahun 1984. Sebagai penanggung jawab dunia dan ukhro terhadap semua keputusan muktamar ke 27 di Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo adalah KH. As’ad Syamsul Arifin (yang sekarang ini telah menjadi pahlawan nasional). (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Semua Agama Sama? Ini Kata Gus Dur':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO