Peserta BPJS Kesehatan di Jawa Timur Masih Minim

Peserta BPJS Kesehatan di Jawa Timur Masih Minim Agung Mulyono, Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur.

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Minat masyarakat Jawa Timur untuk menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih sangat minim. Terbukti, hingga Februari 2017, pemegang kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Jawa Timur baru 57 persen, atau 23,2 juta jiwa dari total penduduk 40 juta jiwa. Minimnya minat untuk menjadi peserta JKN karena pelayanan medis bagi pemegang kartu BPJS Kesehatan masih kurang baik, terutama panjangnya antrean pasien.

Ketua Komisi E DPRD Jatim, Agung Mulyono mengatakan, dalam hearing bersama manajemen BPJS Kesehatan dan Dinkes Jatim, pihaknya mempertemukan khusus terhadap 3 daerah yang akan menjadi pilot project, yakni Kota Mojokerto, Kota Kediri dan Banyuwangi. Tiga daerah ini cikal bakal menjadi total JKN.

Baca Juga: Bupati Bangkalan Serahkan Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan Guru Ngaji dan Madin

"Memang secara nasional tahun 2019 harus JKN total. Maka Jatim tahun 2018 siapkan pilot project. Sehingga 2019 sudah siap semua," ungkap politisi asal Partai Demokrat itu, Selasa (28/3).

Agung mengakui bahwa selama ini masyarakat banyak mengeluh pelayanan BPJS. Mengingat BPJS belum mampu mencapai sukses 4 H, yakni happy BPJS, happy pasien, happy provider, dan happy dokter.

"Saat ini masih mencapai 1 H, yakni happy BPJS. Maka hari ini diberi langkah untuk menuju tahapan ke-3. Karena masing-masing kab/kota sudah dikasih workshop, dan pemantapan. Maka kita undang 3 daerah tersebut," katanya.

Baca Juga: BPJS Kesehatan Nunggak, Dewan Minta Pemprov Tempuh Jalan Hukum

Langkah selanjutnya, kata Agung, tiga daerah harus siap lebih mengarah ke teknis, dan nantinya akan mengundang tiga kepala daerah, sehingga dapat benar-benar diterapkan di Jatim.

"Harapannya yang menjadi pilot project ditularkan ke daerah lain sehingga dapat lebih bagus dari tiga daerah tersebut," tegasnya.

Politisi yang berangkat dapil III tersebut mengakui bahwa peserta BPJS belum mencapai 60 persen. Kabupaten Banyuwangi saja baru mencapai 50 persen, Kota Kediri 58 persen. Dengan pilot project bisa diharapkan berjalan total.

Baca Juga: Potensi Manipulasi PBI Rawan dalam Program BPJS Kesehatan

"Kalau perlu pakai APBD seperti di DKI Jakarta, orang mampu dibayar asal mau menjadi peserta kelas 3," terangnya.

Sementara itu, Kepala BPJS Divisi Regional Jatim, Handaryo mengakui pelayanan BPJS masih perlu diperbaiki. Namun untuk perbaikan BPJS tidak bisa melakukan pengelolaan sendiri karena tidak dapat mengatur rumah sakit, tidak bisa mengatur ketersediaan tempat tidur, dan tidak dapat memberi kepastian jumlah dokter yang dibutuhkan.

"Kita terus memantau pelaksanaan di lapangan, dan evaluasi untuk memberi penyelesaian. Kita adalah dunia layanan jasa, maka komitmen semua kekurangan untuk di perbaiki," terang Handaryo.

Untuk minimnya ketersediaan obat BPJS, Handaryo menilai sangat dipengaruhi kondisi sistem perencanaan pengadaan obat masing-masing rumah sakit. Mengingat dalam pengajuannya rumah sakit harus melalui apotik atau farmasinya untuk menentukan Rencana Kebutuhan Obat (RKO).

"RKO itu penting sekali untuk pengajuan pembuatan obat oleh vendor atau rekanan," tandasnya.

Meski demikian, BPJS tidak mau menyalahkan pihak rumah sakit sepenuhnya, karena kadang-kadang RKO kecil tapi kenyataannya kebutuhan obat besar. Selain itu, juga dapat disebabkan pabrik produksi memakai bahan impor, tetapi proses impor terkendala sehingga produksinya terganggu.

Terkait target seluruh warga menjadi peserta JKN pada tahun 2019, Handaryo berharap dapat berjalan sempurna, dan menjadi semangat mulai 2018. Mengingat di Jatim ada daerah yang menjadi pilot project, dan menjadi corong masuk daerah lain

"Untuk area terpencil bisa juga distribusi terganggu, sehingga ketersediaan obat terlambat," paparnya. (mdr)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO