Mushaf Alquran Tertua di Dunia, Tanpa Pembeda Titik dan Penanda Harakat

Mushaf Alquran Tertua di Dunia, Tanpa Pembeda Titik dan Penanda Harakat Ilustrasi: Alquran tertua di dunia. foto: Fox News

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Pada mulanya, mushaf tidak mengenal penanda baca, selain garis yang menjadi rangkaian huruf hijaiyah. Tak ada titik sebagai pembeda, juga tanpa harakat yang menentukan suara dan nada.

Mushaf Utsmani lawas, misalnya, sama sekali tidak mengadopsi titik untuk membedakan karakter 'ba' dengan 'ta' dan seterusnya. Juga tidak ada baris diakritikal atas atau bawah seperti fatah, kasrah, dan damah.

Baca Juga: Pertemuan AIAT se-Indonesia di IAIN Kediri: Dorong Pengarusutamaan Riset Berbasis Surah

Tidak pula dikenal tanda tanwin, simbol yang menyatakan bahwa huruf di akhir sebuah kata diucapkan layaknya pertemuan dengan huruf 'nun' mati.

Bisa dibayangkan, betapa repotnya membaca , terutama bagi orang-orang non-Arab yang membutuhkan rambu-rambu lengkap dalam berbahasa.

Jangankan non-Arab, menurut keterangan Sayyid Ahmad Al Hasyimi dalam Qawa’idul Asasiyah Lillughatil Arabiyah, adanya beberapa kasus kekeliruan dalam membaca pasca Nabi Muhammad SAW berpulang, menjadikan Sayidina Ali ibn Abi Thalib berkepentingan melakukan kodifikasi bahasa Arab. Juga, merumuskan ketentuan-ketentuan yang mesti dipenuhi.

Baca Juga: Sarat Nilai Keimanan, Khofifah Ajak Teladani Sifat Zuhud Abu Wahb Bahlul bin An as Shairofi Al Kufi

Ali adalah orang pertama yang menemukan teori-teori dasar berbahasa sebagai alat membaca . Setelah dirasa cukup, ia memerintahkan muridnya, Abul Aswad Ad Duali untuk melakukan pengembangan lebih lanjut seraya berkata, "Unhu hadzan nahwa!” (Ikutilah yang semacam ini).

Maka, masyhurlah teori tata bahasa Arab yang belakangan disebut ilmu nahwu atau nahu. Ilmu yang hingga kini karib dalam kurikulum pesantren di Indonesia, sehingga para santri tampak andal membaca kitab-kitab bertuliskan Arab, sekalipun tanpa adanya harakat.

Bermula dari At-Taubah ayat 3

Baca Juga: 10 Rekomendasi Nama Bayi Laki-Laki Islami 3 Kata Keren, Punya Arti Mendalam, dan Penuh Doa

Ternyata, tak cuma Sayidina Ali yang didera kekhawatiran akan maraknya kesalahan dalam membaca pasca Rasulullah tiada.

Abu Amar Utsman ibn Sa’id Ad Dani dalam Al Muhkam fi Naqth Al Mashahif mengisahkan, sekali waktu Ad Duali berjalan melewati seseorang yang sedang membaca . Ia merasa tersentak, lantaran ada sebuah bacaan yang dianggapnya salah kaprah.

Ialah Surat At-Taubah ayat 3 yang dinyana keliru dalam pengucapan harakat seseorang itu. Terdengar bacaan 'Anna Allaha bari'un-mina-l musyrikiin wa rasuulihu', padahal, semestinya 'rasuluhu'. Dalam bahasa Arab, kesalahan dalam sekali bunyi dan tanda; amat potensial menggeser makna dan pengertiannya.

Baca Juga: Mbah Benu Minta Maaf, Bukan Telepon Allah, Netizen: Ngawur Mbah

Dalam ayat tadi, misalnya, kata 'rasulihu' dan 'rasuluhu' menggambarkan arti yang berseberangan. Pembacaan pertama, yang keliru itu, memberikan makna 'Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya ...'. Padahal, Allah sama sekali tidak pernah berlepas diri dari nabi dan rasul-Nya.

Sementara kata kedua, bermakna, 'Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.' Cuma satu harakat, tapi bisa memberikan kesalahan pengertian yang begitu berbahaya.

Setelah memberikan pengertian, Ad Duali lantas bertekad menyeriusi proyek pengembangan ilmu pengetahuan warisan Ali tersebut. Ia merasa perlu untuk merumuskan tanda baca, bahkan titik pembeda huruf yang selama ini tidak diadopsi dalam rasm al-khat mushaf Utsmani.

Baca Juga: Bagikan Tafsir Al-Jailani, Khofifah Ajak GenZi Jadi Generasi yang Cinta dan Mengamalkan Quran

Bukan bidah dhalalah

Memang, Ad Duali tidak serta merta merasa percaya diri melaksanakan amanat Ali. Ia khawatir, ide-idenya termasuk dalam kategori bidah dhalalah. Sebuah cara yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah SAW dan berdampak pada kesesatan.

Al A'zami dalam The History of the Quranic Text: From Revelation to Compilation (2003) menceritakan, akibat kekeliruan dalam membaca yang ditemui langsung di lapangan itulah akhirnya Ad Duali kian yakin pentingnya merumuskan rambu-rambu dalam bahasa Arab.

Baca Juga: Haramkan Maulidan dan Wayang, Nyali Ustad Wahhabi Ciut soal Miss Universe Asal Saudi

"Ad Duali melaksanakan tugasnya dengan ikhlas, yang akhirnya dia menetapkan empat tanda diakritikal yang diletakkan pada ujung huruf tiap kata," tulis Al A'zami.

Pertama-tama, Ad Duali merumuskan tanda titik di atas huruf yang dimaknai amanat membaca fatah 'a', satu titik di bawah huruf dibaca 'i' atau kasrah, dan satu titik di sebelah kiri huruf sebagai penanda 'u' disebut damah. Begitu juga tanwin, Ad Duali menambah titik tersebut menjadi dua buah.

Titik-titik itu dicetak Ad Duali dengan warna merah agar bisa dibedakan dengan tulisan Arabnya yang menggunakan tinta hitam.

Baca Juga: Jangan Main-Main dengan Kata Kiblat, Ketahui Sejarah Perpindahannya yang Penuh Hikmah

"Pada zaman pemerintahan Muawiyah, dia menerima perintah untuk melaksanakan sistem tanda titik ke dalam naskah mushaf, yang kemungkinan dapat terselesaikan pada 50 H," tulis Al A'zami masih dalam buku yang sama.

Pada periode berikutnya, kerangka baca terobosan Ad Duali ini dikembangkan murid-muridnya. Di antaranya, Yahya ibn Ya'mar, Nasr ibn Ashim Al Laithi, Maimun Al Aqran, hingga Khalil ibn Ahmad Al Fraheedi.

Titik dalam naskah klasik

Baca Juga: Pelajari Islam 5 Tahun, Penganut Katolik Ini Akhirnya Masuk Islam

Ad Dani, masih dalam Al Muhkam fi Naqth Al Mashahif mengatakan, keberadaan titik dan harakat memang penting seiring meningkatnya tingkat kerancuan dialek Arab di tengah banyaknya jenis gaya perbincangan yang berlaku.

Keprofanan ini, ditakutkan bisa mereduksi makna jika tidak segera diberikan rambu-rambu secara khusus.

Pun Al A'zami, ia menyebut bahwa tanda titik sejatinya bukan hal baru dalam beberapa dialek klasik yang hidup dalam peradaban Arab. Dalam bukunya, Al A'zami menunjukkan tiga bukti klasik tentang adanya pengadopsian tanda serupa titik melalui peninggalan-peninggalan masa lampau.

"Pertama, dalam batu nisan Raqush. Sebuah inkripsi Arab sebelum Islam pada tahun 267. Di sana terdapat tanda titik di atas huruf dhal, ra, dan shin," tulis dia.

Yang kedua, terdapat dalam sebuah inskripsi yang kemungkinan dibuat pada masa pra-Islam. Peninggalan yang berada di Sakaka, Arab Utara itu ditulis dalam skrip yang agak aneh.

Al A'zami mengatakan, terdapat semacam kombinasi karakter antara Nabatean dan Arab. Teknisnya dengan memuat tanda titik yang menggabung huruf Arab 'nun', 'ba', dan 'ta'.

"Ketiga, dokumentasi dalam dua bahasa di atas kertas papyrus tahun 22 Hijriah yang disimpan di Osterreuchische Nationalbibliothek di Vienna," tulis Al A'zami. (sbh/metronews,com)

Sumber: metronews.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'H Muhammad Faiz Abdul Rozzaq, Penulis Kaligrafi Kiswah Ka'bah Asal Pasuruan':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO