Menelusuri Jejak Kampung Religi di Surabaya (16): Filosofi Semanggi Suroboyo Ikon Masjid Rahmat

Menelusuri Jejak Kampung Religi di Surabaya (16): Filosofi Semanggi Suroboyo Ikon Masjid Rahmat Pintu Gerbang Masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya yang sengaja dibentuk menyerupai daun semanggi yang memiliki filosofi tersendiri. foto: YUDI/ BANGSAONLINE

DIKISAHKAN sebelumnya, setelah mengaku kalah, sesuai janjinya, Ki Wiroseroyo lalu masuk Islam hanya dengan membaca dua kalimat syahadat yang dibimbing langsung oleh Raden Rahmat. Sebelumnya, Ki Wiroseroyo adalah seorang penganut Hindu.

“Panglima Kerajaan Majapahit yang ditugasi menjaga benteng di Ujung Galuh ini otomatis menjadi santri Sunan Ampel yang pertama, karena sudah menganut agama Islam,” ungkap Mansyur, Ketua Yayasan Masjid Rahmat Surabaya, kepada Bangsaonline.com.

Baca Juga: Hebat! Masjid ini Tiap Hari Sediakan Makan dan Penginapan Ber-AC Plus Kopi-Snack Gratis

Tidak ada yang menyangka, Masjid Rahmat Surabaya yang berdiri megah serta berlantai marmer ini dulunya adalah sebuah Langgar Tiban. Langgar tiban ini dibangun di wilayah Kampung Kembang Kuning. Waktu itu, sebelum Raden Rahmat berangkat menuju wilayah Ampel Denta, berdiri sebuah langgar dan tidak ada yang tahu siapa pembangunnya.

“Dinamakan langgar tiban karena dibangunnya hanya membutuhkan waktu satu malam. Tidak ada yang tahu ada pembangunannya tahu-tahu sudah berdiri besok paginya. Bergulirnya waktu, penduduk menemukan sebuah bangunan kecil yang tertutup ilalang. Setelah dibersihkan ternyata sebuah langgar kecil,” ceritanya.

Penduduk yang menemukan langgar pertama kali itu berkeyakinan yang membangun adalah Raden Rahmat makanya dinamakan Langgar Tiban Rahmat. Akhirnya perkembangan dakwah dengan datangnya berbagai manusia serta pertumbuhan penduduk yang membutuhkan tempat luas. Sampai pada masa datangnya orde baru, dibangunlah Masjid Rahmat dengan cara swadaya.

Baca Juga: Ngabuburit di Masjid Al-Akbar Berhadiah Motor

“Masyarakat sekitar Kampung Kembang Kuning awalnya membangun Masjid Rahmat sesuai kemampuan. Membangun seadanya, yang penting bisa menampung masyarakat yang tiap tahun bertambah banyak,” tuturnya.

Menginjak tahun 1965 ada pertemuan yang digelar di IAIN (UINSA sekarang) dengan mendatangkan Menteri Agama Prof KH Saifuddin Zuhri, serta tokoh-tokoh Kampung Kembang Kuning, khususnya Masjid Rahmat. Mereka lalu menyampaikan kepada bapak menteri bahwasanya di Kembang Kuning ada sebuah tanah bekas langgar Sunan Ampel.

Masyarakat akan membangun sebuah masjid yang di dalamnya ada bekas langgar tiban yang diyakini dibangun oleh Sunan Ampel dan mertuanya (Mbah Karimah Wiroseroyo). Tidak membutuhkan waktu yang lama, menteri agama pun langsung menyetujui pembangunan Masjid Rahmat itu.

Baca Juga: Islam Penyebab Peradaban Indonesia Kurang Maju? Begini Penjelasan Guru Besar ITS

Maka dibangunlah Masjid Rahmat seperti sekarang ini dengan ikon pintu-pintu masjid berbentuk Semanggi sesuai dengan ciri khas Kota Surabaya, yakni Semanggi Suroboyo. “Semanggi yang memiliki lima ruas daun itu merupakan ikon Masjid Rahmat hingga lahir lagu semanggi suroboyo itu,” ungkap Mansyur.

“Ada filosofi yang ada di dalam pemilihan daun semanggi sebagai ikon Masjid Rahmat. Rukun Islam ada lima, sila Pancasila ada lima, salat lima waktu, yang tersirat di daun semanggi yang memiliki lima ruas itu,” jelasnya.

Letak langgar tiban diyakini berada di sebelah utara Masjid Rahmat, tepatnya pas di pintu sisi kanan masjid yang ada relief di dinding gambaran langgar tiban saat itu. (ian/lan/bersambung)

Baca Juga: Resmikan Masjid Al Jabbar Polsek Tegalsari, Kapolda Jatim Berharap Bermanfaat Bagi Masyarakat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO