M. Muktar Divonis 4 Tahun Penjara, Sekda Bebas, Begini Kata Direktur LBH FT

M. Muktar Divonis 4 Tahun Penjara, Sekda Bebas, Begini Kata Direktur LBH FT Andi Fajar Yulianto, S.H.

GRESIK, BANGSAONLINE.com - Putusan bebas terhadap , Andhy Hendro Wijaya dalam sidang perkara korupsi di , mendapat sorotan dari Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Fajar Trilaksana (FT), Andi Fajar Yulianto, S.H., C.T.L.

Ia menilai Hakim PN Tipikor Surabaya yang memutus bebas terdakwa Andhy Hendro Wijaya melanggar Etika Disiplin Tata Kerja Profesi.

Baca Juga: Korupsi Hibah UMKM Gresik, Direktur YLBH FT Pertanyakan Status Siska dan Joko

"Mengapa? Sebab, ada 2 putusan berbeda. Sebelumnya, Plt. Kepala BPPKAD M. Muktar dalam kasus yang sama divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Sementara atasan Muktar, AHW (Andhy Hendro Wijaya-Red) dalam kasus sama divonis bebas," ungkap Fajar kepada BANGSAONLINE.com, Selasa (31/3).

"Fakta ini menurut saya bersinggungan dengan etik profesi, karena berakibat lahirnya putusan yang kontradiktif dalam satu materi substansi dengan perkara lain walaupun beda terdakwa," tegas Sekretaris DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kabupaten Gresik ini.

Fajar lantas menjelaskan argumennya itu. Bahwa, putusan bebas terhadap AHW yang diambil Hakim PN Tipikor Surabaya merupakan sebuah putusan yang biasa saja.

Baca Juga: Tok! Terbukti Korupsi Dana Hibah UMKM, Eks Kadiskop Gresik Divonis 1,5 Tahun Penjara

"Hal ini jika dilihat dari sudut pertimbangan hukum yang lahir dari fakta persidangan, bahwa pemotongan insentif pajak pegawai itu dilakukan setelah uang insentif masuk ke rekening yang berhak. Artinya apa? Kalau berkaca dari fakta itu, statusnya bukan uang negara lagi, dan pihak yang dipotong merasa tidak keberatan, juga tanpa ada paksaan, serta tidak adanya punishment jika tidak mau dipotong. Jadi masuk diakal jika AHW diputus bebas," bebernya.

Namun, lanjut Fajar, setelah dirinya membaca di media, ternyata ada pertimbangan lain dari Hakim dalam perkara AHW ini.

"Hakim Pemeriksa perkara AHW sampai intervensi menilai tentang Putusan dari Hakim Tim lain (perkara Mukhtar) yang notabene putusan itu masih dalam satu atap, walaupun masih ada upaya hukum dan belum inkracht. Jika hal ini benar, menurut saya sangat tidak elok dan kurang lazim sampai menilai pertimbangan hukum dari putusan perkara lain (menilai operasi tangkap tangan/OTT perkara Muhtar tidak sah). Hal ini kan jadi overlap," terangnya.

Baca Juga: Dugaan Korupsi Beras CSR di Desa Roomo, Kejari Gresik Tahan Kades, Sekretaris, dan Ketua BPD

"Fakta ini lah juga yang menurut saya bersinggungan dengan etik profesi, karena berakibat lahirnya putusan yang kontradiktif dalam satu materi substansi dengan perkara lain walaupun beda terdakwa," sambungnya.

Fajar menambahkan, bahwa ada Rujukan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia dan Ketua Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

"Pada poin angka 3.2 ayat (2): yang pada pokok intinya mempunyai kaidah hukum Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik, atau penilaian secara substansi terhadap suatu perkara lain," pungkasnya. (hud/rev)

Baca Juga: Kasus Dugaan Penyelewengan Dana Beras CSR Desa Roomo, Kejari Gresik Periksa Sekdes dan Ketua BPD

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO