Kadin Jatim Sepakat Tekan Prevalensi Perokok Anak

Kadin Jatim Sepakat Tekan Prevalensi Perokok Anak Lokakarya Membangun Kebijakan Strategis dalam Menekan Jumlah Perokok Anak yang digelar di Graha Kadin Jatim, Surabaya, Senin (28/9/2020). (foto: ist).

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur bersepakat untuk bersama-sama menekan prevalensi pe anak yang terus mengalami kenaikan, terutama di masa pandemi Covid-19.

Ketua Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto menyatakan bahwa sejauh ini Kadin Jatim sangat peduli terhadap kondisi kesehatan masyarakat, termasuk kesehatan anak-anak. Untuk itu, Kadin Jatim sangat terbuka atas temuan Koalisi Stop Child Abuse yang terdiri dari Alit Indonesia, ISNU, KP2M, Komunitas Siwi, dan Gusdurian Sidoarjo. Temuan tersebut menunjukkan adanya kenaikan prevalensi pe anak di masa pandemi.

Baca Juga: Pj Gubernur Jatim Apresiasi FGD Kebijakan Kenaikan CHT

"Kalau kita bicara , yang punya pabrik saja tidak ingin anaknya yang kecil me. Begitu juga pekerjanya. Termasuk pedagang-pedagang kecil eceran saya pastikan mereka tidak mau anak-anaknya me. Tentu ini akan mencari titik temu. Dari industri juga tidak mau anak-anaknya me di usia dini. Jadi dengan adanya ini, kita bisa bersama-sama dengan Alit Indonesia untuk membicarakan kebijakan strategis apa yang harus ditempuh," ujar Adik Dwi Putranto saat Lokakarya Membangun Kebijakan Strategis dalam Menekan Jumlah Pe Anak yang digelar di Graha Kadin Jatim, Surabaya, Senin (28/9/2020).

Adik yakin, industri sudah melaksanakan aturan-aturan pemerintah. Pengemasan misalnya, juga sudah dituliskan sesuai aturan. "Jadi Alit dan Kadin ini napas dan energinya sama, kita rumuskan dan buat kajian-kajian bagaimana mengurangi pe anak," tegasnya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Alit Indonesia, Yuliani Umrah mengatakan bahwa Koalisi Stop Child Abuse yang terdiri dari Alit Indonesia, ISNU, KP2M, Komunitas Siwi dan Gusdurian Sidoarjo telah melakukan survei tentang pe anak selama pandemi. Dari survei tersebut, diketahui bahwa prevalensi pe anak di masa pandemi mengalami kenaikan.

Baca Juga: Di Lamongan, Khofifah Ajak Masyarakat Perbanyak Shodaqoh dan Semangat Jemput Lailatul Qadar

"Kami ingin mengajak berpikir bersama dengan adanya temuan tersebut. Kalau kemudian kami hanya menemukan 500 anak yang menjadi pe, besar kemungkinan jumlah tersebut lebih dari seribu atau bahkan sepuluh ribu anak yang menjadi pe. Bahwa tujuan kami tidak ingin bermusuhan dengan Kadin dan Gapero tetapi fakta temuan tersebut harus dipikirkan bersama agar dapat menentukan langkah bersama ke depan seperti apa. Harapan kami ke depan, kita satu suara ke pemerintah pusat bagaimana mengatur kebijakan selanjutnya," ujar Yuli.

Ia menyadari bahwa isu pe anak sejauh ini selalu pro dan kontra. Namun Alit ingin menemukan satu titik di mana harus dibuat langkah strategis secara bersama. Karena 500 anak yang sudah berbicara tersebut telah mewakili ribuan anak yang bisa diselamatkan akibat .

Tim Baseline Survey Koalisi Stop Child Abuse, Lisa Febriyanto menjelaskan, selain kenaikan prevalensi pe anak, hasil survei yang dilakukan di 5 regional state, yakni Surabaya, Sidoarjo, Malang Raya, Jember-Banyuwangi, dan D.I. Yogyakarta tersebut juga menunjukkan bahwa tempat yang paling banyak digunakan untuk me adalah warung kopi.

Baca Juga: Petugas Bandara Jeddah Sita 2 Karung Rokok Jemaah Haji Asal Surabaya

"Kebetulan saat itu pada saat kondisi pandemi, anak-anak tidak ada kegiatan sekolah tatap muka, sehingga banyak menggunakan WiFi dan belajar online di warung kopi tetapi di sana mereka juga me," ujar Lisa.

Survei yang dilakukan juga melihat atau berkaca pada aturan tentang . Tahun 2019, kebijakan cukai menetapkan kenaikan harga hingga 35 persen dengan kenaikan beragam. Tetapi dari beberapa aturan yang ada, koalisi juga menemukan bahwa ada kebijakan Dirjen Bea dan Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau yang menyatakan bahwa produsen dapat menjual (HJE) di bawah 85 persen dari banderol asal dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea dan Cukai.

"Kami berusaha melihat bagaimana kebijakan ini dilaksanakan, langkah tindak lanjut seperti apa untuk bersama-sama dipikirkan bagi anak Indonesia," ujarnya.

Baca Juga: Kadin Tuban Siapkan SDM Unggul Melalui Pelatihan Pelatih Versi Dasar

Wakil Ketua Bidang Cukai dan Pemberdayaan Perempuan Kadin Jatim, Sulami Bahar yang juga menjadi Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya mengatakan tertarik dengan hasil penelitian. Karena baru kali ini survei prevalensi pe anak yang tidak berseberangan dengan industri dan tidak memojokkan industri.

Sulami membenarkan bahwa selama ini prevalensi pe anak Indonesia memang terus mengalami kenaikan. Di tahun 2018, naik 9,1 persen, dan Gapero bersepakat untuk menurunkannya di tahun ini menjadi 8,4 persen.

"Dari industri kami menghindari adanya kenaikan prevalensi pe anak karena selama ini kami sudah melakukan aturan yang telah ditentukan. Tetapi kami tidak bisa kontrol keseluruhan kalau sudah ada di market. Tetapi kami selalu memberikan imbauan kepada agen dan penjual agar tidak menjual pada anak," tegasnya.

Baca Juga: Kadin Indonesia Nobatkan Gubernur Khofifah Jadi Inspirator Gerakan Vokasi Jawa Timur

Ia menegaskan, asumsi pe dini dipicu karena harga murah dengan cara pemerintah mengeluarkan aturan Dirjen Bea Cukai Nomor 37/2017 sebenarnya tidak sepenuhnya benar.

Terlebih, menurut Sulami, kebijakan pemerintah dalam mengontrol konsumsi sudah banyak dilakukan. Di antaranya dengan pemungutan cukai, PPN dan Pajak Rokok yang mencapai 61 persen dari harga banderol itu sendiri, harga jual yang ditentukan oleh pemerintah dan selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Sejumlah kebijakan tersebut dinilai sudah berdampak dengan menurunnya jumlah pabrik di Indonesia. Pada tahun 2007, jumlah industri mencapai 4.669. Di tahun 2017, jumlah tersebut turun menjadi 779 industri. Selain itu, produksi juga turun.

Baca Juga: Kadin Jatim Dukung Program Kemenpan RI Lahirkan UMKM Milenial di Sektor Pertanian

Pada kesempatan tersebut, Sulami juga memaparkan data yang sedikit berbeda bahwa kenaikan harga tidak berpengaruh pada penurunan prevalensi pe anak. Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa jika harga naik, 57 persen pe usia dini memilih tidak beralih produk , sedangkan 43 persen lainnya memilih untuk beralih ke produk lain.

"Hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga tidak berpengaruh terhadap perubahan konsumsi usia dini," katanya.

Ia menjelaskan, faktor dominan yang menjadi penyebab pe usia dini, yakni keluarga me, pendidikan ayah, lingkungan sosial sekitar rumah dan teman sekolah.

Baca Juga: Kadin Jatim Dapat Tawaran Peluang Kerja Sama dan Investasi dari Kedubes Amerika Serikat

"Adanya keluarga me yang tinggal serumah berpeluang 3 kali menyebabkan anak usia dini mengonsumsi . Pendidikan ayah yang rendah berpeluang 1,4 kali lebih besar bagi anak usia dini mengonsumsi ," tambahnya.

Pada kesempatan tersebut, Kepala Bidang Perlindungan dan Tumbuh Kembang Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan Jatim, Herawanto Ananda menyatakan bahwa larangan menjual pada anak sebenarnya sudah ada, tetapi sejauh ini penegakan hukumnya yang masih lemah, sehingga sanksi bagi pelanggar tidak ada. "Yang bisa dilakukan hanya dengan memberikan sanksi sosial," tegas Herawanto.

Sementara itu, Kepala Prodi Ilmu Politik FISIP Unair dan Pengamat Kebijakan Politik, Kris Nugroho mengatakan bahwa data yang dipaparkan Alit sangat menarik karena ini merupakan penegasan yang kesekian bahwa anak pe menjadi hal yang terbuka. Penelitian yang sama juga telah dilakukan oleh penelitian lain. Hanya saja, penelitian-penelitian tersebut terbentur pada follow up.

Baca Juga: Pemkab Gresik Gandeng Kadin dan UMG Gelar Pelatihan Kerja Internasional

"Inilah yang kemudian saya tegaskan bahwa temuan ini lebih baik diarahkan pada rekomendasi atas kekosongan regulasi atau undang-undang untuk melindungi anak. Ini menurut saya sangat strategis," pungkasnya. (nf/zar)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO