Kiai Manteb “Dalang Setan”, Ki Kanko “Setan Besar”

Kiai Manteb “Dalang Setan”, Ki Kanko “Setan Besar” Dahlan Iskan

SURABAYA, .comMasa pandemi Covid-19 ternyata tak mematikan kesenian wayang. Kreasi para lewat you tube, justru memperluas penonton. Yang semula hanya ratusan orang, kini bisa mencapai jutaan penonton. Ini berarti penonton wayang kian masif.

Tapi kenapa Ki Manteb harus disebut “Dalang Setan”? Dan kenapa pula ilmuwan wayang Amerika Serikat Kathryn Anne Emerson harus ke Leiden Belanda untuk uji desertasi doktornya, bukan di Indonesia

Baca Juga: Dimeriahkan Puluhan Doorprize, Jalan Sehat HUT ke-10 BO dan Bazaar UMKM Diserbu Ribuan Warga

O ya? Simak saja tulisan Dahlan Iskan di Disway dan HARIAN BANGSA pagi ini, Minggu, 4 April 2021. Tulisan wartawan popular itu kami turunkan juga untuk pembaca .com dibawah ini. Selamat menikmati:

AKHIRNYA saya bisa ke Mayangkara –bertemu ''Arjuna'' di situ: Ki Purbo Asmoro.

Akhirnya saya juga menamatkan buku tebal karya Kathryn Anne Emerson: Pembaharuan Wayang. Terjemahan.

Baca Juga: Ribuan Peserta Hadiri Jalan Sehat HUT ke-10 BANGSAONLINE

Itu buku karya ilmuwan Amerika Serikat –dari disertasinyi di Leiden University, Belanda. Bayangkan: disertasi soal wayang, ditulis oleh ahli Amerika –wanita pula– dengan penguji dari Belanda.

Untuk meraih gelar doktor itu Kathy –nama panggilannyi– melakukan penelitian bertahun-tahun. Terutama di Solo. Lebih terutama lagi mengenai Ki Dalang Purbo Asmoro (Disway 16 Februari 2021).

Maka saya pun ingin ke Mayangkara –-nama kampung Arjuna di dunia pewayangan yang dipakai nama kampung Purbo Asmoro di dunia nyata. Tapi kapan bisa ke Mayangkara –di masa Covid ini?

Baca Juga: Gondol Ikan Lele Seberat 2,1 Kg, Warga Jetis Juara Lomba Mancing HUT ke-10 BO dan HUT Kemerdekaan RI

Kesempatan itu akhirnya datang: bulan lalu. Ketika saya berkendara dari Jakarta ke Surabaya –lewat tol. Saya lihat di google map: Mayangkara itu tidak jauh dari pintu tol exit 506 Mojosongo –setelah exit Bandara Adi Sumarmo, Solo.

Maka, sejak dari Jakarta saya sudah tetapkan tekad: mampir Mayangkara. Mobil yang saya kemudikan, Alphard, saya isi penuh. Agar isi bensin berikutnya bisa di Mayangkara. Biasanya saya sudah isi bensin di sekitar Semarang. Kali ini saya paksakan sampai penanda bensin berwarna kuning. Saya lihat ada stasiun pengisi bensin di dekat pintu exit itu.

Ketika masih di tol Ungaran saya WA sang Arjuna: apakah ada di rumah. Ternyata sang Arjuna lagi tidak ke mana-mana. Misalkan tidak lagi ada Covid rasanya sulit bertamu ke Mayangkara pada jam 20.00 seperti itu –pasti sudah pergi pentas entah Astina atau Alengka.

Baca Juga: Jalan Sehat Satu Dekade BANGSAONLINE: Progress Pra-Acara, Lomba Mancing dan Respon Eri Cahyadi

Itulah kali pertama saya bertemu Purbo Asmoro –meski sudah sering bicara lewat online. Orangnya memang ganteng seperti Arjuna. Pembawaannya juga halus seperti satria Pandawa itu. Tapi, tidak seperti Arjuna, istri Purbo tetap satu –menyuguhkan begitu banyak kue malam itu.

Tentu saya mengagumi rumahnya. Yang tidak sampai 2 Km dari exit tol itu. Halamannya luas. Gerbang masuknya dua buah –yang kiri khusus untuk logistik: truk pengangkut wayang dan gamelan lewat gerbang itu.

Bagian depan rumah berbentuk pendapa. Joglo Jawa. Di situlah digelar satu set gamelan pelok-slendro. Lengkap dengan kelir untuk pentas.

Baca Juga: Pemilu Dungu, Pengusaha Wait and See, Ekonomi Tak Menentu

Rupanya dari sinilah wayang virtual Purbo Asmoro official diproduksi –selama pandemi. Lihatlah YouTube-Nya. Begitu banyak yang mengakses –meski masih kalah dari almarhum Ki Seno Nugroho yang lebih nge-pop. Salah satu lakon Seno telah ditonton oleh 1,7 juta pemirsa YouTube. Tak terbayang kan sebelumnya.

Kini, penikmat wayang seperti saya bisa nonton kapan saja –sebuah kenikmatan baru yang hanya tersedia gegara Covid-19.

Tentu saya minta izin ke toilet dulu –sudah menahan kencing sejak melintasi Semarang. Toiletnya bersih –penanda pemilik rumahnya memiliki kemampuan manajemen yang baik.

Baca Juga: Bersih Desa Urek-Urek Tanggap Wayang Kulit, Bupati Malang Apresiasi Pemdes Pertahankan Tradisi

Tidak banyak yang saya obrolkan –karena sudah sering bicara lewat telepon. Pun sudah saya tulis di Disway. Apalagi di buku Kathy yang saya baca itu sudah tertulis dengan sangat lengkap: apa-siapa-bagaimana Purbo Asmoro.

Saya pun langsung ingin melihat kereta kencana bikinannya. Juga langsung merasakan duduk di tempat Ki Purbo men. Saya bersila di situ: sila ala –agar ujung telapak kaki bisa membunyikan kecrek dan tangan kiri bisa mengetukkan gedok. Seorang memang harus bekerja dengan kedua tangannya, kedua kakinya dan terutama dengan mulutnya –sampai ke tenggorokan dan suara perutnya.

Satu jam saya di Mayangkara –sekalian istirahat setelah 5,5 jam mengendarai mobil dari Jakarta. Saya bisa merasakan betapa pandemi telah ikut menghentikan dinamika pewayangan.

Baca Juga: Sempat Batal Nikah, Redpel BANGSAONLINE Tunangan, Yakin Sampai ke Pelaminan?

Tapi pandemi juga yang membuat saya menonton wayang lebih sering. Lakon apa saja saya ikuti. Dalang siapa saja saya amati.

Rasanya, dalam satu tahun terakhir, wayang yang saya tonton sudah melebihi yang saya lihat selama 69 tahun hidup saya.

Kini saya bisa melihat aksi begitu banyak . Hebat-hebat. Tanpa pandemi saya tidak akan tahu ini: bagaimana Ki Cahyo Kuntadi memasukkan unsur sinetron dalam pergelaran wayang –meski baru di lakon tertentu. Bagaimana pertengkaran suami-istri Raja Astina Duryudono dan Banowati dibuat begitu sangat sinetronnya. Saya ternyata juga menyukai suara dan intonasi dialog Ki Cahyo Kuntadi. Yang mengingatkan saya pada kaset legenda Ki Narto Sabdho.

Baca Juga: Tiongkok Banjir Mobil Listrik

Pun saya bisa melihat kiprah ki Dwijo Kanko –kakak kandung Cahyo Kuntadi-- yang punya kelebihan mencolok: adegan perangnya. Ia mampu menjungkir balikkan wayang melebihi yang lain –pun melebihi guru mereka: Ki Manteb Soedarsono. Dengan kegilaannya Pak Manteb sudah dibilang '' setan''. Kini, dengan sabetannya itu, Ki Kanko harus bisa disebut sebagai ''setan besar''.

Dua bersaudara ini –Kuntadi dan Kanko– asli Blitar. Mereka adalah putra Haji Sukron Suwondo. Keduanya kini tinggal di Solo dan Karanganyar. Keduanya, seperti juga bapak mereka beristrikan sinden.

Purbo sendiri asli Pacitan yang kemudian juga menetap di Solo Utara. Seperti juga Purbo, Kuntadi dan Kanko adalah juga anak terkemuka di daerah masing-masing.

Maka saya bisa mengerti mengapa Si Amerika Kathy menangkap fenomena baru di pewayangan itu. Saya juga mengerti mengapa dia memilih Purbo Asmoro sebagai objek penelitian.

Kathy sangat jeli melihat perjalanan wayang kulit. Tapi awalnya dia begitu sulit mencari siapa yang bisa menjadi promotor untuk membimbing tesis doktornya itu. Itulah sebabnya mengapa akhirnya Kathy memilih Leiden untuk mempertahankan disertasi doktornya.

Leiden punya lebih banyak ilmuwan ahli wayang –pun dibanding Indonesia. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Setahun Tak Ada Kabar, Korban Longsor di Desa Ngetos Nganjuk Tagih Janji Relokasi':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO