Sudah Divaksin, 9 Anggota DPRD Surabaya Tertular Covid-19

Sudah Divaksin, 9 Anggota DPRD Surabaya Tertular Covid-19 Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Muncul ledakan baru Covid-19 di Indonesia. Yaitu di Kudus Jateng dan Arosbaya Bangkalan Madura. Yang terakhir kasus anggota DPRD Kota Surabaya. Sebanyak 9 “wakil rakyat” tertular Covid-19. Padahal mereka sudah di.

Bukankah di negara-negara lain sudah turun drastis? Silakan simak tulisan Dahlan Iskan, wartawan kawakan, di Disway, HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com. Selamat membaca:

Baca Juga: Gus Afif Dukung UMKM Surabaya Bersertifikasi Halal

MEREKA sudah asi. Sudah dua kali. Tapi, sembilan anggota itu tertular Covid-19.

Itulah headline Harian Disway edisi Jumat lalu.

Itu menambah kekhawatiran baru. Setelah apa yang terjadi di Bangkalan, di seberang Surabaya, menjadi sorotan nasional. Menyusul sorotan yang sama terhadap Kabupaten Kudus di Jateng.

Baca Juga: Anak Anggota DPRD Surabaya Jadi Korban Jambret di Galaxy Mall

Padahal, di beberapa negara sudah menunjukkan kabar gembira. Kegawatan di India sudah turun. Yang tertular Covid ''tinggal'' di bawah 90.000/hari. Dari 400.000/hari bulan lalu.

Di Amerika lebih menggembirakan lagi: sudah seminggu terakhir ''tinggal'' di bawah angka 10.000/hari. Jumat lalu, bahkan, tinggal di kisaran 5.000 sehari itu.

Di Negara Bagian California sudah sebulan terakhir hampir selalu tidak ada kasus baru.

Baca Juga: Pemilu Dungu, Pengusaha Wait and See, Ekonomi Tak Menentu

Benar-benar melegakan.

Yang sebenarnya ada yang lebih menggembirakan: Australia. Sampai kemarin jumlah penderita di sana ''hanya'' 30.000. Yang meninggal tidak sampai 1.000. Padahal, Australia berpenduduk 25 juta. Rekor terjeleknya hanya 8.000/hari. Itu pun tidak sampai satu minggu. Langsung turun drastis.

Sekarang giliran berita buruknya: Mongolia. Penduduknya hanya 3,5 juta orang. Tiap kilometer persegi hanya dihuni 2 orang. Itu lantaran saking besarnya wilayah dan sedikitnya penduduk. Separo penduduknya tinggal di ibu kota: Ulan Bator.

Baca Juga: Peringati HUT ke-731, Sekwan DPRD Surabaya Gelar Peragaan Busana Jawa di Zebra Cross

Rabu lalu Mongolia jadi seperti Kudus dan Bangkalan. Penderita barunya tiba-tiba melonjak. Mencapai 1.300 orang/hari. Itu setara dengan kalau di Indonesia 6 juta/hari.

Ledakan baru itu membuat total penderita Covid di sana menjadi 70.000 orang.

Pertanyaannya: –seperti ditulis panjang lebar di New York Times– mengapa ledakan baru itu terjadi. Padahal, 50 persen penduduknya sudah menjalani asi. Sudah dua kali. Mereka mendatangkan melebihi jumlah penduduknya: 4,5 juta . Lebih 4 juta dari Tiongkok: Sinopharm. Yang 400.000 lagi dari Rusia: Sputnik.

Baca Juga: Bahas IPL Darmo Hill, Komisi A DPRD Surabaya Gelar RDP

Ternyata penyebabnya satu: akan ada pilpres di sana. Hari-hari ini adalah puncak masa kampanye. Di sana masa jabatan presidennya baru saja diubah: hanya boleh satu periode, 6 tahun. Ikut Filipina.

Mongolia pernah menjadi penguasa dunia –meski gagal meluaskan wilayah sampai Nusantara. Waktu itu Mongolia berhasil menguasai Tiongkok dan mendirikan Dinasti Yuan. Setelah dinasti itu runtuh, Tiongkok membangun tembok besar agar mereka tidak datang lagi.

Dalam hal Covid, Mongolia pernah jadi buah bibir: seperti kebal Covid. Ketika Covid sudah menyebar ke mana-mana, tidak ada yang ke Mongolia.

Baca Juga: Hearing di Gedung Dewan, Sengketa Pengelola JMP 2 dengan Pedagang Temukan Solusi

Seperti juga Vietnam: tidak ada kasus Covid, saat itu. Mongolia dan Vietnam jadi buah bibir. Lebih baik daripada Taiwan yang begitu hebat dalam menaklukkan Covid. Tiga wilayah itu –Mongolia, Taiwan, dan Vietnam– berada di sekeliling pusat Covid: Wuhan di Tiongkok.

Akhirnya Vietnam jebol –meski tetap terkendali. Mongolia juga jebol –lebih parah. Taiwan sekarang ini juga agak mengkhawatirkan.

Saya pun menghubungi teman saya di Taipei kemarin.

Baca Juga: Tiongkok Banjir Mobil Listrik

"Anda pasti sudah asi kan?" tanya saya kepada teman itu.

"Belum," jawabnya.

"Hah? Kapan dapat giliran?"

Baca Juga: 22 Wajah Baru di DPRD Surabaya, Siapa Saja?

"Belum tahu juga," jawabnya.

Taiwan memang termasuk tertinggal dalam asi. Maka, ketika belakangan kasus Covidnya melonjak menjadi kisaran 300/hari, hebohnya bukan main. Heboh tercampur khawatir.

Sampai kemarin baru 700.000 orang yang di di Taiwan. Awalnya mereka hanya bisa menggunakan AstraZeneca. Baru belakangan ditambah Moderna.

Tentu tidak ada Sinovac maupun Sinopharm di Taiwan. Dia menolak menggunakan Tiongkok itu. Alasannya: politik. Padahal, Tiongkok terus mendorong Taiwan untuk mau menerima dari daratan.

"Tidak adakah Pfizer?" tanya saya lagi.

"Anda tahu sendirilah," jawabnya, lantas tertawa.

Ya, saya memang tahu. Tiongkok secara tidak langsung menghalangi pengiriman dari Amerika itu ke Taiwan. Agen tunggal Pfizer untuk Asia-Pasifik dipegang perusahaan Shanghai.

Minggu lalu Presiden Joe Biden mengirim 400.000 ke Taiwan. Bersamaan dengan kedatangan tiga anggota Kongres Amerika ke Taipei. Dua dari Partai Demokrat, satu dari Republik.

Biden lebih ''sopan'' daripada Presiden Donald Trump. Yang datang ke Taiwan bukan orang pemerintahan. Kalau toh ada yang dari pemerintahan, dipilihkan yang sudah pensiun. Sedangkan Trump dulu sengaja mengirim pejabat tinggi aktif ke Taiwan –yang oleh Tiongkok dianggap sebagai salah satu provinsinya.

Taiwan kelihatannya pilih terus melawan Tiongkok. Pun di tengah pandemi. Taiwan terus mencari akal. Di tengah jepitan itu, Taiwan mengusahakan untuk punya sendiri. Caranya: membeli hasil penelitian yang ditemukan di Amerika.

Sudah ada dua calon yang kini dimiliki Taiwan. Dengan kekuatan ekonominya, Taiwan mampu membeli perusahaan tersebut.

Maka, meski itu bikinan Amerika, tapi karena perusahaannya milik Taiwan, tidak bisa dihalangi siapa pun. Direksinya juga orang Taiwan.

Vaksin itu sudah melewati uji coba klinis fase 2. Menjelang fase 3. Dua bulan lagi BPOM-nya Taiwan sudah akan mengeluarkan EUA (emergency use authorization) –izin penggunaan secara darurat.

Nama itu: 高端 dan 聯亞生技 . Kabarnya sudah pula mulai mengurus izin untuk bisa masuk ke Indonesia.

Vaksin yang pertama itu juga disebut MVC. Itu dikembangkan sebuah perusahaan di Emeryville, di seberang San Francisco. Pengembangnya adalah Dynavax Technologies. Itu perusahaan kecil untuk ukuran Amerika. Perusahaan itu pernah berhasil menciptakan untuk hepatitis B. Nama nya: Heplisav-B.

Sedang satunya lagi disebut juga Covaxx. BPOM-nya Amerika sudah mengeluarkan izin EUA untuk Covaxx.

"Mungkin Agustus nanti saya dapat giliran asi dengan nya Taiwan sendiri," ujar teman saya tadi.

Amerika, Australia, dan India sudah begitu menggembirakan. Mongolia dan Taiwan di sisi yang berbeda. Mongolia kelihatan tetap tergantung pada dua negara yang menjepitnya. Taiwan pilih cari jalan sendiri.

Dan Indonesia memasuki golongan yang mengkhawatirkan itu. Data Worldometer Jumat lalu mencatat angka Indonesia kembali ke level nyaris 9.000. Tepatnya: 8.892. Sudah mengalahkan data penderita Amerika yang hari itu ''tinggal'' 8.875.

Kudus dan Bangkalan telah menaikkan kewaspadaan baru. Dengan cara lama. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Tidak Mau di Vaksin, Wanita ini Malah Minta Ditembak Polisi':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO