Ngajar 17 Tahun, Guru ini tak Pernah Doakan Muridnya, Beda dengan Kiai Asep dan Syaikh Qadhi 'Iyadh
Editor: M Mas'ud Adnan
Minggu, 03 Maret 2024 20:37 WIB
SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Ketika saya mengikuti acara Persatuan Guru Nahdlatul Uama (Pergunu), seorang narasumber yang berprofesi sebagai guru memberikan testimoni mengejutkan.
"Saya sudah mengajar selama 17 tahun. Tapi saya tak pernah mendoakan murid-murid saya," kata dia saat jadi narasumber pada acara Pergunu di Kampus Universitas KH Abdul Chalim di Pacet Mojokerto, Jawa Timur.
BACA JUGA:
Kagumi Prestasi Amanatul Ummah, Kementerian Pendidikan Malaysia Studi Banding ke Pacet Mojokerto
Yel-Yel Ganti Bupati dan Menang 90%, Ribuan Korcam dan Kordes Relawan Bara-Rizal Konsolidasi
Gus Nasrul: Banyak Sarjana Muslim yang Belum Paham Salat
Pilkada Mojokerto, Tim Barra-Rizal Konsolidasi, Dr. H. Achmady: Mereka, Muda, Cerdas, dan Amanah
Pernyataan itu dia sampaikan merespons pengakuan Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, M.A. yang tiap malam mendoakan para santri Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto. Kiai Asep bahkan istiqamah bangun pukul 03.00 pagi untuk salat hajat 12 rakaat.
Usai salat hajat 12 rakaat itulah Kiai Asep lalu sujud (di luar salat) dan berdoa menumpahkan semua keinginannya, termasuk mendoakan para santrinya. Biasanya, Kiai Asep sujud dan berdoa cukup lama. Sekitar 20 menit sampai 30 menit.
"Kenapa saya lama sujud? Karena banyak sekali yang saya minta kepada Allah. Saya tak malu banyak permintaan kepada Allah, karena Allah justru senang kalau diminta. Beda dengan manusia. Kalau manusia dimintai kan gak senang," kata Kiai Asep.
Usai berdoa itu, Kiai Asep melanjutkan salat witir tiga rakaat dengan dua kali salam.
Si narasumber itu heran terhadap Kiai Asep yang selalu istiqamah mendoakan santrinya. Apalagi pada sepertiga malam. Saat enak-enaknya tidur.
"Mungkin seandainya saya mendoakan murid-murid saya, bisa jadi murid saya lain (berprestasi dan lebih baik)," katanya lagi.
Saya tak tahu apakah si narasumber itu kemudian mengikuti jejak Kiai Asep yang istiqamah mendoakan para santrinya. Atau tetap enggan mendoakan murid-muridnya yang merupakan anak didiknya.
Yang pasti, saya (penulis artikel ini) sempat tertegun mendengar pengakuan narasumber itu. Pada satu sisi saya prihatin, karena ia mengaku tak pernah mendoakan muridnya. Tapi pada sisi lain saya salut karena dia berani berterus terang. Apalagi dia memberi pengakuan di depan ratusan para guru yang mengikuti acara Pergunu itu.
Pertanyaannya, apa sih pentingnya guru atau kiai mendoakan murid atau santri kita?
Untuk menjawab pertanyaan ini, menarik disimak tulisan Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences.
Dalam tulisannya di NU Online, Amien Nurhakim mengutip tulisan ulama besar Syaikh Al-Qadhi ‘Iyadh dalam Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik. Dalam kitab itu disebutkan bahwa dulu ada seorang guru mulia mendatangi Ka’bah dan berdoa:
اَللَّهُمَّ أَيُّمَاغُلَامٍ عَلَّمْتُهُ، فَاجْعَلْهُ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ
Artinya: "Ya Allah, siapa pun yang telah aku ajar, tempatkan dia di antara hamba-hamba-Mu yang saleh."
Konon, usai berdoa itu guru mulia itu berhasil menjadikan sekitar sembilan puluh ulama dan orang-orang shaleh yang telah dibentuk melalui pengajarannya.