Sidang Korupsi e-KTP, KPK Waspadai Serangan Politik, Jaksa Pastikan Keterlibatan Setnov Cs | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sidang Korupsi e-KTP, KPK Waspadai Serangan Politik, Jaksa Pastikan Keterlibatan Setnov Cs

Jumat, 10 Maret 2017 04:43 WIB

Suasana sidang kasus korupsi proyek e-KTP. foto: Tribunnews

SIDANG perdana kasus dugaan korupsi e-KTP telah digelar Pengadilan Tindak pidana korupsi (Tipikor), Jakarta. Dalam dakwaan disebut banyak politisi terlibat dalam kasus ini. Atas kondisi ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta tidak perlu takut dengan intimidasi dari partai politik.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa terkait kasus ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu takut dengan adanya intimidasi dari partai politik yang kadernya tersangkut di dalam kasus tersebut.

Hingga saat ini deretan nama besar terlibat kasus e-KTP belum pihak mengakui. Hal tersebut, menurut Jimly, terjadi karena belum adanya aturan mengatur terkait pengunduran diri tersebut.

"Itu kan sulitnya belum ada aturan seperti itu. Dan budaya mundur kita ga ada, kita kan budayanya maju terus pantang mundur ini yang jadi masalah kita," kata Jimly di Jakarta, dikutip dari merdeka.com, Kamis (9/3).

Meski begitu, Jimly meminta semua pihak menghormati proses hukum tengah berjalan. "Ya sudahlah kita serahkan pada proses hukumlah," tegasnya.

Dalam persidangan e-KTP, Jaksa KPK Irene, menyebutkan bahwa dua terdakwa, Irman mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri dan Sugiharto Pejabat Pembuat Komitmen telah melakukan tindakan melawan hukum secara bersama-sama yang mengakibatkan kerugian negara.

"Bersama-sama dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku penyedia barang/jasa Kementerian Dalam Negeri, Isnu Edhi Wijaya selaku ketua konsorsium PNRI, Diah Anggraini selaku Sekjen Kementerian Dalam Negeri, Setya Novanto selaku ketua Fraksi Golkar dan Drajat Wisnu Setyawan selaku ketua panitia pengadaan barang dan jasa di lingkungan Ditjen Dukcapil tahun 2011," ujar Jaksa Irene saat membacakan surat dakwaan.

Mengutip dari Tempo.co, mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan KPK jilid 3, atau pada masa jabatannya dulu, menurut Busyro Muqoddas, sudah mulai menyentuh kasus e-KTP melalui aspek cegah dan penindakan secara integratif.

"Kasus tersebut terindikasi corruption by design yang menjadi obyek bisnis kumuh dan gelap oleh oknum birokrat, anggota DPR, pebisnis, serta kelompok calo," kata Busyro dalam pesannya kepada Tempo.

Menurut Busyro, dulu pimpinan KPK telah merekomendasikan untuk tidak meneruskan desain e-KTP versi Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. "Pimpinan KPK merekomendasikan e-KTP yang berfungsi sebagai SIN (system identity number) yang multifungsi," ujarnya.

e-KTP multifungsi ini, Busyro menjelaskan, termasuk untuk kepentingan pemilu yang secure karena tidak memungkinkan penggunaan KTP palsu. "Kasus ini kini sudah dibungkus oleh KPK jilid 4," tuturnya.

Busyro mengingatkan kepada jajaran KPK saat ini, "Sudah tampak serangan politik, yaitu melalui revisi UU KPK tanpa argumen dan nalar hukum, melainkan hanya bermaksud memutilasi KPK," ucapnya.

"Sekarang berpulang kepada pimpinan KPK untuk membuktikan loyalitas tunggalnya kepada KPK sebagai lembaga independen yang profesional. Saya kira, masyarakat sipil sebagai kekuatan demokrasi otentik akan mendukung KPK," kata Busyro Muqoddas. Dengan syarat, "Tentu saja, bila pimpinan KPK persisten dan berkomitmen tinggi dalam melawan korupsi politik dan state corruption ini." 

BERITA TERKAIT:

Sedangkan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi memastikan memiliki bukti keterlibatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto dalam perkara korupsi proyek e-KTP ini.

"Oh, pasti (punya bukti). Setiap kalimat dalam surat dakwaan kami sudah mengkonfirmasi dengan minimal dua alat bukti," kata jaksa Irene Putri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 9 Maret 2017.

Nama Setya disebut-sebut bersama dua terdakwa korupsi KTP elektronik memperkaya diri sendiri dan orang lain sehingga menyebabkan negara rugi Rp 2,3 triliun. Dalam surat dakwaan jaksa, Setya disebut turut mengatur agar Komisi II menyetujui anggaran untuk proyek e-KTP. Ia juga menerima uang sebesar 11 persen dari total nilai proyek Rp 5,9 triliun atau Rp 547 miliar.

Namun, Setya Novanto membantah tudingan itu. "Demi Allah. Demi Tuhan tidak," ujarnya sambil mengangkat dua jari tangannya.

Irene tak terpengaruh bantahan Setya. Ia menegaskan bahwa uang yang disebut dalam dakwaan telah selesai didistribusikan. "Jadi, kalau misal ada pihak membantah, silakan. Tapi kami punya alat bukti lain," tuturnya.

Irene menjelaskan, peran Setya dalam megakorupsi ini bermula saat pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong beserta mantan Direktur Jenderal Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman, Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Dukcapil Sugiharto, dan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni meminta Setya mendukung pengadaan proyek KTP elektronik.

"Setya berjanji akan mengkoordinasikan dengan pemimpin fraksi lainnya," ucapnya.

Untuk mendapatkan persetujuan anggota Dewan Komisi II, Andi lantas berkomitmen untuk menebar fulus kepada anggota Dewan dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.

Selain nama Setya, puluhan nama besar lain penerima uang korupsi ini tertera dalam dakwaan jaksa yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta hari ini, Kamis, 9 Maret 2017. Mereka di antaranya Menteri Hukum dan HAM Yasonna M. Laoly; Mendagri pada masa SBY, Gamawan Fauzi; bekas Ketua DPR RI Ade Komaruddin; Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo; dan bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Bahkan, mayoritas anggota dan pimpinan di komisi DPRD periode 2009-2014 diduga menerima aliran duit proyek e-KTP. Setidaknya, 52 anggota DPRD dari komisi pemerintahan diduga menerima fulus suap proyek senilai Rp 5,9 triliun itu.

Sejumlah orang yang telah melihat suat dakwaan itu menyatakan 52 orang itu meliputi 4 pemimpin komisi, 5 ketua komisi, dan 8 anggota komisi dengan nama yang disebutkan satu per satu. Kedelapan anggota itu, yakni Markus Nari, Yasonna Laoly, Khatibul Umam Wiranu, Miryam Haryani, Arief Wibowo, Agun Gunanjar Sudarsa, Mustokoweni, dan Ignatius Mulyono. Adapun sisanya, 37 orang, tak disebutkan dalam berkas dakwaan. (merdeka.com/tempo.co)

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video