Sumamburat: Nobar Bola Lanjut Nyobar Pilkada | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sumamburat: Nobar Bola Lanjut Nyobar Pilkada

Editor: Abdurrahman Ubaidah
Wartawan: -
Rabu, 27 Juni 2018 11:59 WIB

Suparto Wijoyo.

Pilkada memang terkadang tidak luput dari kepura-puraan sekaligus tetap membawa-bawa “trah” yang tidak boleh direngkuh orang lain. Lihat saja, kalaulah suami istri itu salah satunya sudah pernah berkuasa dan episodenya tengah habis, ternyata ada yang tetap mengusung “kawan dalam selimut” untuk bertanding.

Pilkada “darah biru” yang diberi kelambu “politik dinasti” terus mewarnai setiap penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Demokrasi telah direnggut “keperawanannya” oleh “bandar-bandar kekuasaan” yang selama ini telah merasakan nikmatnya memegang otoritas. Demokrasi dibajak oleh “rezim keluarga”, begitu acapkali dinarasikan sebagai kritik atas pemilihan yang membawa-bawa “darah genetika” maupun “keluhuran keturunan”.

Ajaran demokrasi yang menghajatkan setiap orang memiliki kesederajatan kesempatan menjadi “pemenang” dalam pemilihan raya ternyata mengalami “erosi makna”. Demokrasi tergiring menjadi “dinastikrasi”, paling tidak yang terpotret adalah “familikrasi” yang berkembang dengan argumentasi “parpolkrasi”.

Suara sang demos (rakyat) digiring memasuki gelanggang pilkada yang telah diborong parpol-parpol, dan parpol-parpol ini dikuasai para “penghasrat kekuasaan”, untuk selanjutnya dialah yang memainkan peran. Bahkan “sepasukan timseskrasi” yang ngendon di jantung negara dapat menggunakan parpol-parpol itu seperti “gojek online” yang harus setiap saat sedia merapat ke konsumen yang berhasrat naik tahta maupun mempertahankan mahkota”.

Ya … kita sangat berterima kasih memiliki manusia-manusia yang masih ada di abad kedua puluh satu ini yang menjalankan prilaku keluarga model abad ke-15 sampai ke-6 Sebelum Masehi, seperti masa-masa kekuasaan Hatshepsut (Ratu Mesir abad 15 SM), Nefertiti (Ratu Mesir, abad 14 SM), Puduhepa (Ratu Hittite, abad 13 SM), Ratu Syeba abad 10 SM, Izebel (Ratu Israel, 843 SM), Tomyris (Ratu Massagetae, abad 6 SM), maupun Cleopatra VII Thea Philopator (Ratu Mesir tahun 69-30 SM), serta Wu Hou (Permaisuri China, 625-705 M) dan puluhan lagi sebagaimana diceritakan oleh Claudia Gold dalam bukunya Queen, Empress, Concubine (2008).

Puluhan penghasrat kuasa ini memang ada dalam lingkup tatanan kenegaraan berbentuk kerajaan. Sepertinya pilkada yang mengusung-ngusung “keluarga dalam” sekarang ini sedang berimajinasi dalam kelindan romantika monarkhi yang paling sempurna. Inilah praksis pilkada yang menggambarkan adanya rezim “demokrasi di kaki monarkhi” untuk tidak mengatakan “demokrasi utusan suami”, “demokrasi kursi suami yang lengser keprabon”, apalagi “demokrasi petugas famili”.

Sepertinya pemilih dalam pilkada ini memanglah memenuhi persyaratan untuk disebut seperti satire Nadine Gordimer, dianggap sebagai peziarah yang asing, tepatnya “peziarah pilkada” di gelanggang “demokrasi yang terkafani” meski belum termakamkan. Peziarah yang akrab dengan leluhurnya tetapi “asing terhadap anak bawang yang dipaslonkan”, sehingga pilkada terstempeli berbasis “demokrasi keturunan”.

Bagi orang-orang yang selalu mengunggulkan dinastinya tidaklah perlu direaksi massal, cukup jadi penyadaran semata atas perkiraan mereka bahwa orang diluar keluarganya dianggap tidakalah ada yang pantas untuk memimpin “gerombolan kaum daerah” penyelenggara pemda. Hari ini adalah hari dimana sore nanti kaum awam mengerti siapa yang “menang” guna melengkapi gempita nobar bola usai nyobar.   

*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

 

 Tag:   Opini Pilkada Jatim

Berita Terkait

Bangsaonline Video