Pemimpin Ideal dalam Dilema Demokrasi
Editor: Redaksi
Wartawan: -
Selasa, 03 Juli 2018 03:50 WIB
Oleh: M. Helmi Umam*
Keramaian Pilkada serentak 2018 segera memasuki anti klimaks. Semua calon kepala daerah semakin tampak jelas lewat kemenangan hitung cepat. Ada yang berbahagia, ada yang kecewa. Beberapa hari ke depan, gejolak sengketa Pemilu mungkin akan terjadi. Mungkin juga akan tidak terjadi apa-apa, semua kembali normal seperti sedia kala. Pemenang akan segera menyiapkan diri untuk memimpin, yang kalah akan mencari kesibukan lain.
BACA JUGA:
Kejati dan Kemenag Jatim Tegaskan ASN dan Pegawai Kejaksaan harus Netral di Pilkada 2024
Di Deklarasi KAReB, Paslon Pilgub Jatim Risma-Gus Hans Tawarkan Program Resik-Resik APBD
5 Daerah di Jatim Bakal Diisi Calon Tunggal, Pengamat Politik Unair: Erosi Demokrasi Lokal
KPU Jatim Gencar Sosialisasikan Tahapan Pilkada 2024
Bagi kita rakyat, babak berikutnya adalah mengamati. Kita akan merasakan dan menilai, hal baru apa yang sudah disiapkan oleh pemimpin-pemimpin ini. Apakah kita akan terkesan, terhibur, hingga kemudian bersyukur oleh dampak dari Pilkada hari ini. Ataukah kita justru semakin bosan, menyesal, dan meratapi kembali masa lima tahun mendatang. Rakyat adalah user dari jasa kepemimpinan.
Pemimpin sebagai provider, pelayan akibat mandat rakyat, akan bekerja sebagaimana janji. Janji-janji ini adalah visi kepemimpinan dan trade-mark unik setiap pemimpin. Pemimpin yang dirindukan adalah yang benar-benar bekerja keras mewujudkan janjinya sesuai gaya-nya. Dalam perjalanannya mungkin tidak semua janji mampu ditepati, namun sebuah janji tidak boleh dengan sengaja dikhianati.
Plato (Republic, 360SM) mengatakan bahwa pemimpin terbaik adalah yang bijaksana. Bijaksana berarti logis, etis, dan estetis yang kualitas kebijaksanaannya melampaui kebijaksanaan instan. Kebijaksanaan instan adalah hal yang sekilas tampak dibutuhkan, tetapi sebenarnya belum waktunya dibutuhkan. Kata Plato, kualitas pemimpin harus cerdas, berintegritas baik, dan menguasai seni menggerakkan untuk menyelesaikan masalah. Praktisnya, pemimpin tidak harus meloloskan semua keinginan masyarakat, jika justru keinginan itu melawan visi.