Sumamburat: “Istihsan”, Pilkada dan Kenaikan BBM | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sumamburat: “Istihsan”, Pilkada dan Kenaikan BBM

Editor: Abdurrahman Ubaidah
Wartawan: -
Rabu, 04 Juli 2018 15:46 WIB

Suparto Wijoyo

Pilkada pun ada yang “main-main” dalam memungut suara rakyat untuk ditabulasikan gunamenentukan siapa pemenang dan pekalahnya. Rekayasa penyuaraan melalui hitungan-hitungan yang ditayang menimbulkan curiga sudah dapat ditebak ke manah lembaga survei itu berpihak.

Ini semua semakin mengejutkan dengan “instrumen teknologi” KPU sendiri tidak lepas dari sikap “ngambek”, tidak lancar, dan ada pula penghitungan yang tidak boleh diliput. Sebuah kenyataan yang sangat ganjil di era demokrasi hari ini.

Sepertarikan nafas pada ujungnya adalah orang awam mengerti bahwa penyelenggaraan pilkada menyisakan masalah, termasuk rekapan suara yang merayap sesuai publikasi awalnya. Inilah jalan demokrasi yang setiap sesinya terbidik terang untuk kemudian susut sebagai cerita semata.

Dalam sengkarut itulah harga BBM mengendap-ngendap manaiki tangga yang diberangkatkan penguasa. Kenaikan ini semakin melengkapi beban derita rakyat yang terseok-seok bayar PBB, TDL, sembako dan bahan-bahan kebutuhan rumahan, serta biaya skeolah anak-anaknya.

BBM sepertinya sedang berpartisipasi untuk mengibarkan diri menunjukkan digdayanya bahwa setinggi apapun dirinya meraih tangga pencapaian, rakyat akan mengejar sebab ini kebutuhan mobilitasnya.

Rakyat akhirnya memiliki kecerdasan dalam penyikapan bahwa mereka agar tidak merasakan adanya kenaikan, maka cara belinya yang diubah, bukan menggunakan patokan liter tetapi nominal rupiah yang dijadikan ukuran. Saya beli sepuluh ribu ya. Katanya kepada petugas SPBU yang berjaga. Petugaspun mengisikan BBM ke tangki kendaraan sebesar sepuluh ribu rupiah.

Inilah pilihan-pilihan cermat yang sudah membudaya dibelantara peradaban sosial rakyat.Walaupun mereka merasakan beratnya kenaikan harga BBM ini “disungginya”, tetapi mereka tidak berdemonstrasi secara vulgar sebab bagi mereka ini adalah keputusan penguasa (yang harus ditaati) dalam sebuah negara yang mengalami “nasib” seperti ini.

Lantas yang suka-suka demokrasi dulu itu sewaktu ada BBM naik semakin kelihatan bahwa demo merekam biyen iku bukanlah sungguh-sungguh membela rakyat tetapi hendak meraih singgasana. Tatkala kini mereka “kerja keras” di “dampar kencono”, mereka pun tidak elok meneriakkan “pembela penderitaan rakyat” karena antara dirinya dan rakyat sudah berjarak.

Jarak ini sejatinya sangat terang dengan hasil pilkada yang kini sedang memasuki tahapan rekapitulasi suara untuk nenentukan sang juara. Rakyat tetap terlihat diam dalam ruang demokrasi dan berpandangan bahwa semua pilihan yang ada,apa itu soal paslon pilkada ataupun ragam jenis kenaikan harga BBM, TDL, sembako, maupun rumah dan tanah, tetap saja rakyat memahaminya sebagai kebaikan, sehingga pilihan rakyat ada dalam posisi pemaknaan yang paradigmanya adalah kebaikan, terbukti rakyat tidak pakai mogok nasional apalagi makar, rakyat tetap diam meski dalam diammnya itu telah menentukan sikap “memilih yang terbaik dari kebaikan yang ada”.

Pilihan ini dalam bahasa usul fiqih model Mufti Besar Imam Syafi’i (767-820) lazimnya disebut istihsan. Tentu saja penyebutan ini tidak sebanding tetapi biarlah kusemat sebutan ini untuk meneduhkan batin bahwa yang ada adalah kebaikan dan biarlah kupilih dari kebaikan itu sampai pada waktunya, 2019 akan ada yang ihsan (lebih baik lagi). 

*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Sumber: Suparto Wijoyo*

 

sumber : Suparto Wijoyo*

 Tag:   Opini

Berita Terkait

Bangsaonline Video