Ahok dan Mobilitas Vertikal Politik Etnis Tionghoa | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Ahok dan Mobilitas Vertikal Politik Etnis Tionghoa

Selasa, 18 November 2014 19:14 WIB

M. Mas'ud Adnan

Oleh: M Mas’ud Adnan...


BANGSAONLINE.com - 
Setelah sekian lama menuai kontroversi, maka pada Rabu, 19 Nopember 2014, Ir Basuki Tjahaja Purnama, MM (), dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta. Dalam perspektif politik etnis Tionghoa, benar-benar menjadi fenomena baru dalam pentas politik nasional. yang lahir dari etnis minoritas bukan saja menggebrak pentas politik nasional tapi juga membuat publik tercengang.

Gaya bicara yang ceplas-ceplos dan sikapnya yang tegas telah menumbuhkan genre politik baru, disamping gaya khas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (presiden RI terpilih) yang low profile dan identik dengan politik blusukan. 

memang WNI etnis Tionghoa yang lagi ketiban pulung dalam politik. Apalagi setelah Jokowi terpilih sebagai Presiden RI ke-7. Ia bisa menjadi orang pertama dari kalangan etnis Tionghoa yang menjabat gubernur wilayah paling strategis, yaitu DKI Jakarta.

Memang pada 11 Oktober 1919 Souw Beng Kong pernah diangkat penjajah Belanda sebagai kapiten dan Dewan Tionghoa di Batavia. Tapi jabatan itu hanya untuk mengurus etnis Tionghoa yang saat itu berjumlah sekitar 400 orang. Kisah lain, Tan Djin Sing, kapiten Tionghoa, diangkat oleh Sultan Hamengku Buwono III menjadi bupati di Yogyakarta. Tapi, menurut T.S. Werdoyo pada 1990 dalam bukunya berjudul Tan Jin Sing, Dari Kapiten Cina Sampai Bupati Yogyakarta, ia sebenarnya orang Jawa yang dipelihara orang Tionghoa (Benny G Setiono, 2008). 

yang lahir dengan nama Tionghoa Zhong Wanxie’ini pernah menjadi Bupati Blitung Timur (2005-2006). Ia kemudian membangun karir politik lewat Partai Golkar sebagai anggota DPRD Blitung Timur (2009-2014). Ia mengundurkan diri ketika pada 2012 mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Calon Gubernur Jokowi yang waktu itu Walikota Solo. Dalam keluarga, bukan satu-satunya yang terjun ke dunia politik. Adiknya, Basuri Tjahaja Purnama, kini menjabat bupati Blitung Timur (2010-2015). Nama kakak adik ini membingungkan publik karena mirip, hanya beda R (Basuri) dan Basuki (K). 


Etnis Tionghoa dan Parpol

Menjelang Pemilu 1999 komunitas Tionghoa sempat mendirikan tiga partai politik. Yaitu Partai Pembauran Indonesia (Parpindo) yang dipandegani pengusaha Yusuf Hamka, Yunus Yahya, Ramli Salim dan pemain bulu tangkis H Verawaty Fajrin. Parpindo bahkan menempatkan Dahlan Iskan sebagai Dewan Penasehat. Lalu Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) yang didirikan Gunawan Tjahjadi, Lius Sungkharisma, Cecep Adi saputra dan tokoh etnis Tionghoa lainnya. Kemudian Partai Bhineka Tunggal Ika (PBI) yang dipimpin Nurdin Purnomo (Wu Nengbin), pengusaha travel dan Ketua Yayasan Hakka. 

Namun partai-partai etnis Tionghoa itu kandas di tengah jalan. Parpindo tak mendapat sambutan masyarakat. PARTI gagal mengikuti seleksi KPU. Hanya PBI yang ikut dalam Pemilu. Cuma perolehan suaranya kecil, dapat satu anggota DPR dari Kalimantan Barat, yaitu L.T. Susanto. 

Para elit etnis Tionghoa kemudian masuk ke partai-partai yang sudah eksis. Mereka masuk ke berbagai partai. Dalam sepuluh tahun terakhir ini – terutama pada pemilu 2014 - banyak sekali etnis Tionghoa yang masuk ke berbagai parpol dan tampil ke pentas politik nasional. Kalau tahun-tahun sebelumnya hanya Kwik Gian Gie, Mar’i Eka Pangestu dan Alvin Lie, yang tampil dalam politik, pada sepuluh tahun terakhir ini muncul Hary Tanoesoedibjo (Nasdem, kemudian pindah ke Hanura), Rusdi Kirana (PKB), Ratnawati Wijana, Hartarti Murdaya (Chow Lie Ing, Partai Demokrat), dan masih banyak lagi etnis Tionghoa di PDIP, Golkar dan partai lain, baik yang jadi anggota DPR, DPRD maupun kepala daerah di berbagai wilayah. 

Namun dari sekian tokoh etnis Tionghoa yang karier politiknya paling moncer adalah . Bahkan kini jadi idola politik baru yang jadi rebutan parpol. Buktinya, ketika dia keluar dari Partai Gerindra, semua partai barisan Jokowi-JK dalam pilpres lalu siap menampung, terutama sebagai pengurus. PDIP, PKB, Hanura dan Nasdem, mewarkan diri sebagai wadah kiprah politik ke depan. Ini berarti telah menjadi genre baru politik Indonesia.

Gegap gempita politik ini seolah menjadi indikator mobilitas vertikal politik etnis Tionghoa di Indonesia. Apalagi secara umum kiprah politik etnis Tionghoa di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan ke depan tampaknya akan makin kencang mengingat etnis Tionghoa punya potensi ekonomi luar biasa.

Konon, dari sekian penyumbang dana partai politik selama ini, pengusaha etnis Tionghoa inilah yang paling banyak kontribusinya. Maklum, mereka menguasai perekonomian Indonesia. Dari berbagai sumber disebutkan, meski pada 2014 populasi etnis Tionghoa cuma 5 % (12 juta jiwa) tapi mereka menguasai 80 % lebih perekonomian Indonesia. Ini terjadi berkat penerapan praktik pasar neo liberalism dan free fight competition. 

Jadi, sekali lagi, kencangnya mobilitas vertikal politik etnis Tionghoa, selain karena faktor keterbukaan politik yang makin kondusif juga karena faktor penguasaan ekonomi yang sudah berlangsung puluhan tahun di Indonesia. Memang, dalam kultur perpolitikan kita, ekonomi dan politik ibarat gula dan manisnya atau garam dan asinnya. Sulit dipisahkan. Maka tak heran kalau dalam pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilukada dan pilpres sering muncul ungkapan, wani piro? Jadi, dalam kultur politik di Indonesia sumber daya ekonomi bagian paling vital dan penting. Wallahua’lam bisshawab. (Tulisan ini pernah dimuat Jawa Pos)

M Mas’ud Adnan, Direktur HARIAN BANGSA, alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarja Unair (mmasudadnan@yahoo.com)


 

 Tag:   Opini Ahok

Berita Terkait

Bangsaonline Video