SUMENEP, BANGSAONLINE.com - Semangat warga kepulauan untuk menjaga tradisi membatik di Sumenep terus dikembangkan. Bahkan, untuk menjaga tradisi nenek moyangnya, sejumlah warga terus mengajari anak cucu mereka sejak dini.
Pemahaman membatik yang diberikan tersebut tidak mengenal tempat, bahkan saat ini di wilayah Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean telah dimasukkan kedalam materi muatan lokal (Mulok) di berbagai sekolah negeri. Salah satunya yang diajarkan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Arjasa, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean.
Anak didik di sekolah plat merah itu, mulai dididik dan dibiasakan membatik sejak baru masuk sekolah. Bahkan saat ini sudah banyak siswa yang mahir melukis kain dengan berbagai macam motif.
”Kami diajari membatik mulai baru masuk ke sekolah, karena pelajaran tersebut termasuk kurikulum di sekolah kami,” kata siswa kelas IX SMPN I Arjasa Anisa Nurul Fahmi Qorina.
Menurutnya, pelajaran membatik tidak hanya diberikan pada siswa atau kelas tertentu saja, melainkan diberikan pada semua siswa. Sehingga pelajaran membatik, dapat diserap oleh semua siswa, serta menjadi pelajaran favorit karena diyakini dapat menampung luapan imajinasi siswa pada selembar kain.
Meski materi pelajaran membatik hanya diberikan satu kali dengan jangka waktu dua jam selama seminggu, namun karena guru pembimbingnya sangat telaten, para siswa dapat menerima pelajaran itu dengan cepat. Sehingga siswa di SMPN I Arjasa, sudah bisa meluapkan emosinya lewat karya batik tulis, serta sudah bisa membuat corak atau motif sendiri.
”Karena menyesuaikan dengan jadwal pelajaran di sekolah, pelajaran membatik diberikan 1 minggu 2 jam, jadi waktunya memang tidak banyak untuk pelajaran membatik,” kata guru pembimbing bidang seni dan budaya SMPN I Arjasa Pardi,
Namun begitu, dalam setiap minggunya siswa dapat menghasilkan 1 karya batik ukuran kecil ukuran sapu tangan. Sehingga dalam sebulan SMPN Arjasa dapat menampung batik karya siswa sebanyak 160 lembar batik ukuran sapu tangan.
Disinggung mengenai biaya untuk pembuatan batik, Pardi mengaku hasil patungan para siswa, karena sekolah memang tidak menyediakan anggaran untuk materi tersebut. Sementara untuk pemasaran batik karya siswa tersebut, dilakukan secara manual atau dijual secara door to door ke sekolah lain yang ada di pulau Kangean.