Dalam Kongres Perempuan 1928, Muslimat NU belum terlibat karena Muslimat NU didirikan pada 1946. Dalam Kongres Perempuan itu, yang terlibat adalah Perempuan Budi Utomo, Wanita Katolik, Perempuan Taman Siswa dan Aisyiyah. Kini dari sejumlah organisasi yang aktif dalam Kongres Perempuan itu semuanya sudah tidak ada, kecuali Aisyiyah. Itu menunjukkan bahwa dalam skala nasional, Aisyiyah dan Muslimat NU adalah organisasi yang betul-betul berakar. Masih ada beberapa organisasi perempuan dalam skala nasional tetapi tidak sebesar dan sebaik Aisyiyah dan Muslimat NU.
Muslimat NU bisa berkembang dengan baik karena sejak dulu para pemimpinnya adalah tokoh-tokoh ikhlas, punya visi yang baik, mampu memimpin dan bisa bekerja sama dengan baik. Saya mengenal secara pribadi para Ketua Umum Muslimat NU, yaitu Ibu Mahmudah Mawardi (1954 sampai 1979), Ibu Asmah Syahruni (1979-1995), Aisyah Hamid (1995-2000) dan Khofifah (2000-kini). Mereka semua berjuang untuk membela perempuan melalui keanggotaan di DPR. Selain ketua umum, ada juga ketua yang hebat seperti Ibu Wahid Hasyim, Ibu Saifuddin Zuhri.
Khofifah mampu mengembangkan Muslimat NU menjadi seperti sekarang berkat pendidikan tinggi, pengalaman di berbagai organisasi, jaringan dan kemampuan pribadinya. Kemampuan itu mulai tampak ketika menjadi juru bicara PPP dalam SU MPR 1997. Kemampuan itu lebih terlihat saat ditunjuk oleh Gus Dur menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Ketua BKKBN. Kemampuan Khofifah makin tampak menonjol ketika menjadi Menteri Sosial. Khofifah selalu menjadi salah satu dari tiga menteri terbaik menurut berbagai lembaga survei.
Perlu Dirawat
Muslimat NU adalah organisasi paling baik di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, lebih baik dari pada organisasi NU sendiri. Kegiatan dakwah dan program nyata dalam bidang sosial berjalan seiring. Kader-kader Muslimat NU banyak yang aktif di parpol dan berbagai lembaga. Muslimat NU adalah aset bangsa dan aset umat Islam Indonesia yang harus kita syukuri. Menyukurinya bisa dilakukan dengan menjaga dan merawat organisasi Muslimat NU supaya tetap utuh dan kompak.
Yang berpotensi untuk mengganggu keutuhan dan kekompakan organisasi Muslimat NU adalah masalah politik, khususnya pemilihan gubernur dan pemilihan bupati. Kader atau tokoh Muslimat NU yang aktif dalam parpol yang mengusung calon yang bersaing dengan tokoh Muslimat NU menghadapi dilema, mendukung calon yang diusung partainya atau mendukung tokoh Muslimat NU menjadi calon.
Contoh yang konkrit adalah dalam menentukan pilihan terhadap calon gubernur Jawa Timur. Jangan sampai tokoh Muslimat di parpol menempatkan kepentingan parpol di atas kepentingan Muslimat NU. Apalagi kalau kemudian mempengaruhi warga Muslimat NU untuk memilih calon selain Khofifah. Itu akan mengganggu keutuhan dan kekompakan warga dan organisasi Muslimat NU. Mereka tidak boleh merusak keutuhan dan kekompakan organisasi yang dibangun dengan susah payah, penuh perjuangan oleh para pendahulu kita.
Beberapa bulan lalu saya mendengar laporan bahwa ada tokoh NU dan kiai yang menyuruh PAC, PC dan PW Muslimat NU serta warga Muslimat NU untuk tidak memilih Khofifah. Tindakan itu berpotensi untuk mengganggu keutuhan dan kekompakan Muslimat NU. Syukur bahwa PWNU menyatakan bahwa tidak ada larangan bagi Muslimat NU untuk mendukung Ketua Umum dalam pilgub Jatim 2018.
Kalau kita menyukuri keberadaan Muslimat NU sebagai ormas perempuan terbaik di Indonesia, maka nikmat itu akan ditambah oleh Allah SWT. Tetapi kalau kita tidak menyukurinya, maka kita akan menerima adzab Allah SWT berupa rusaknya organisasi Muslimat NU yang akan sulit untuk memperbaikinya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News