Ibu Indonesia dan Ibu Muslimah

Ibu Indonesia dan Ibu Muslimah Gus Solah. foto: istimewa/BANGSAONLINE

Oleh: Salahuddin Wahid

Pengasuh Pesantren Tebuireng

1. Puisi berjudul "Ibu Indonesia" karya Sukmawati Soekarno yang pada akhir Maret dibacakan dalam sebuah pertunjukan mode di Jakarta, mendadak bergema ke seluruh Indonesia melalui media sosial dan media elektronik. Reaksi terhadap puisi itu sebagian besar negatif, bahkan ada kelompok yang mengadukan Sukma ke Polri dengan tuduhan menghina Islam. Tentu hak setiap warga negara untuk mengadukan Sukma kepada Polri, walaupun Ketua Umum MUI meminta tidak ada gugatan hukum.

2. Reaksi lain ialah seruan dari Abdul Mu'thi, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah untuk memberi maaf Sukma. Pihak lain menganjurkan Sukma untuk meminta maaf dan itu telah dilakukan oleh Sukma pada 4 April 2018. Pada saat menyampaikan permintaan maaf itu Sukma memperlihatkan sebuah buku kumpulan puisinya termasuk di dalamnya puisi yang menghebohkan ini. Sukma tampak tidak memahami bahwa bagian dari puisinya itu amat sensitif bagi kebanyakan umat Islam, menyinggung perasaan mereka.

3. Kalau soal cadar saya masih bisa paham karena pengguna cadar di sini amat sedikit karena dianggap bukan perintah agama. Tetapi saya tidak paham mengapa Sukma membandingkan adzan dengan kidung. Seburuk apapun suara orang yang beradzan, adzan adalah panggilan untuk sholat. Saat setelah adzan adalah saat terbaik untuk berdoa. Kita lahir diadzani dan kita dikubur pun diadzani. Sebaik apapun kidung bagi Sukma, sebaiknya tidak dibandingkan dengan adzan.

4. Di media sosial beredar puisi karya Irene Rajiman berjudul "Ibu Muslimah" yang merupakan tanggapan terhadap puisi "Ibu Indonesia". Ada juga video yang berisi karya Felix Siauw menanggapi puisi karya Sukmawati itu, yang berjudul "Kamu Tidak Tahu Syariah". Karya Irene ini dianggap negatif oleh kelompok yang sepikiran dengan Sukmawati. Banyak kawan saya yang berpikiran seperti itu, yang mengirim pendapatnya lewat WA. Puisi itu dianggap tidak menghormati keberagaman dan keindonesiaan. Menurut saya itu tidak benar.

5. Menurut saya perlu diadakan pertemuan antara Sukmawati beserta penyair yang satu pikiran dengan Irene Rajiman beserta penyair yang satu pikiran. Kesempatan ini perlu kita gunakan untuk mendewasakan bangsa kita dalam berbeda pendapat. Syaratnya: sang moderator harus menguasai masalah, arif dan punya kemampuan mengendalikan dialog. Peserta dialog harus menggunakan bahasa yang baik dan mampu mengendalikan diri. Kita ingin tahu pesan apa yang mau disampaikan oleh Sukma dengan puisinya itu.

6. Menurut saya, judul "Ibu Indonesia" itu menunjukkan bahwa Sukma lebih menonjolkan keindonesiaan. Dan judul "Ibu Muslimah" menunjukkan bahwa Irene Rajiman lebih menonjolkan keislaman. Keduanya harus saling menghormati pendirian masing-masing.

Sejauh saya tahu perbedaan di atas menunjukkan adanya perbedaan antara mereka yang merasa sebagai orang Indonesia yang beragama Islam (Ibu Indonesia) dan mereka yang merasa sebagai orang Islam yang berbangsa Indonesia (Ibu Muslimah). Saya sering mengatakan bahwa kita tidak perlu memilih mana yang lebih tepat dan mana yang lebih benar diantara dua pilihan itu. Menurut saya kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam sekaligus orang Islam yang berbangsa Indonesia.

6. Sejauh ini saya katakan bahwa kita tidak pernah disuruh memilih diantara kedua pilihan itu. Ternyata saat ini kita diminta memilih antara dua pilihan: "Ibu Indonesia" dan "Ibu Muslimah". Apakah yang memilih "Ibu Indonesia" bisa disebut anti Islam? Menurut saya tidak bisa. Apakah yang memilih "Ibu Muslimah" bisa disebut anti Indonesia? Menurut saya juga tidak bisa. Artinya kita boleh memilih mana yang sesuai dengan hati nurani kita. Pilihan dalam masalah itu bukanlah pilihan yang bersifat mendasar.

7. Pilihan seperti itu yang lebih mendasar pernah terjadi di masa lalu, pada saat membahas masalah dasar negara. Saat itu ada dua pilihan: Pancasila dan Islam. Saat itu memang ada pilihan yang membelah dua bangsa: Islamis atau Pancasilais. Dengan penerimaan Pancasila oleh NU dan ormas Islam lain seperti Muhammadiyah, SI, Persis dan lain-lain pada 1985, maka tidak ada lagi pilihan: Islam atau Indonesia.

8. Selanjutnya ada pilihan pada saat membahas RUU Perkawinan pada 1973. Kita tahu bahwa ketentuan syariat Islam baru bisa berlaku di Indonesia kalau masuk kedalam UU. Waktu itu ada perdebatan tentang masuknya ketentuan syariat Islam kedalam UU Perkawinan. Pihak yang menolak hanya fraksi Partai Demokrasi Indonesia. Fraksi Golkar, Fraksi ABRI dan Fraksi PPP setuju. Hal yang sama terjadi pada tahun 1989 saat membahas RUU Peradilan Agama.

9. Tidak bisa dikatakan bahwa Fraksi Golkar, Fraksi PPP dan Fraksi ABRI lebih mengutamakan hukum Islam dari pada hukum Indonesia. Sikap itu diambil berdasar kepentingan bersama seluruh rakyat Indonesia yang kebetulan sebagian besar beragama Islam. Menurut Bung Hatta dan banyak ahli hukum terkemuka sejak dulu, hukum keluarga Islam memang harus masuk kedalam UU. Dan kini kedua UU itu menjadi UU yang berhasil melayani dengan baik semua rakyat Indonesia termasuk yang menjadi anggota PDI (Perjuangan). Memang harus diakui bahwa masih ada kelemahan UU tersebut seperti pada masalah perlunya sanksi terhadap yang melakukan poligami tidak sesuai dengan UU tersebut.

10. Perbedaan penafsiran dan kecenderungan terhadap puisi "Ibu Indonesia" dan "Ibu Muslimah" menurut saya adalah perbedaan yang masih bisa kita toleransi tetapi jangan kita perbesar dan kita kembangkan sehingga saling berhadapan. Perbedaan itu adalah bersifat cabang, bukan bersifat mendasar. Tidak usah pihak yang satu merasa lebih Indonesia dan pihak lain merasa lebh Islam.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO