Benci Keterlaluan, Cinta Keterlaluan

Benci Keterlaluan, Cinta Keterlaluan


Saya tiba-tiba tenggelam dalam nostalgia dunia pesantren. Tradisi spiritualisme yang begitu kuat dan jiwa tulus ikhlas seolah membuat garis pembatas dengan kehidupan di luar pesantren (realitas masyarakat).

Kenangan pesantren itu kian membayang ketika seorang teman santri yang kini jadi pengacara kirim SMS. “He, kamu dulu kalau ngaji (kitab kuning) di masjid kan sering bawa bantal. Setelah itu kamu kadang tertidur,” katanya mengingatkan saya pada kehidupan spiritual pesantren.

File-file masa lalu kini memang kembali membayang. Apalagi ketika seorang teman cewek juga kirim SMS. Isi pesannya mengingatkan saya pada suasana ketika dulu asyik berdiskusi setiap Sabtu di rumah saya (dekat fakultas kedokteran Unair). Dulu setiap Sabtu teman-teman mahasiswa Unair, wartawan dan beberapa santri memang rutin berdiskusi tentang politik dan agama di rumah saya. Forum itu seolah meneruskan tradisi kesantrian saya di pesantren. Sayang, forum itu bubar ketika saya harus hijrah ke Jakarta untuk mengelola koran saat awal reformasi, tepatnya masa transisi ketika BJ Habibie jadi presiden.

Meski demikian semua itu tetap kuat menancap dalam jiwa saya. Yaitu jiwa santri yang penuh idealisme.

Kini suasana pesantren itu kembali hidup dalam jiwa saya. Kenangan demi kenangan terus menbuncah. Yang membuat saya terharu ketika saya ingat wejangan kiai saya tentang sebuah hadits.

“Kalian jangan terlalu benci pada seseorang, sebab kalau kalian membenci di luar batas, kalian tak akan mati sebelum melakukan seperti apa yang kalian benci.” kata kiai saya itu menjabarkan sebuah hadits. “Begitu juga kalian tak boleh terlalu mencintai seseorang melebihi kadar kepantasan, sebab bisa jadi orang yang sangat kalian cinta itu pada saatnya akan kalian benci dan menjadi musuh yang paling kalian benci,” katanya.

Kongkritnya, kiai saya itu minta para santrinya jangan benci keterlaluan. Sebab jika kita serba keterlaluan niscaya yang terjadi sebaliknya.

Sekarang saya merasakan betul wejangan kiai saya itu. Teman-teman saya yang aktif di politik kini tertimpa kasus yang disinyalir hadits tersebut. Sebut saja si A. Dulu, ia sangat anti partai C, namun kini malah memuji-muji partai tersebut dengan reasoning tertentu. Partai yang semula dihujat bersama kini dianggap sebagai wadah perjuangan yang seolah tak ada duanya. Ia terus menampilkan kelebihan-kelebihan partai tersebut meski dulu dihajar habis-habisan baik secara wacana maupun fisik. Partai yang secara historis telah banyak menebar korban – termasuk para ustadz dan kiai – kini seolah bayi baru yang harus ditimang-timang.

Begitu juga teman saya yang lain, sebut saja si B. Ia dulu sangat fanatik pada tokoh tertentu, namun kini tokoh idolanya itu dihujat dimana-mana. Ia terus berusaha mencarikelemahan-kelemahan seolah tokoh tersebut tak punya jasa samasekali.

Entah apa yang sedang terjadi pada negeri ini. Nilai-nilai kehidupan dan nurani seolah menguap begitu saja.

Dalam kondisi seperti ini saya lalu kembali rindu kehidupan pesantren. Saya membayangkan seandainya tradisi pesantren itu menjadi tradisi kehidupan dalam masyarakat luas betapa tenteram dan tenangnya jiwa bangsa ini. Cuma hati saya juga bertanya, masihkah suasana kehidupan pesantren seperti dulu, sepi ing pamrih dan penuh keguyuban. Tidaklah kehidupan pesantren terkontaminasi politik yang sekarang lagi penuh tren dukung-mendukung?

Semoga saja tradisi luhur pesantren itu tetap terpelihara. Minimal – kalau kiainya gagal mempertahankan independensi dan tradisi religius karena terlibat politik – institusi dan tradisi santrinya tetap terjaga. Tapi bukankah kiai itu secara antropologis disebut sebagai “makelar budaya” yang menjadi iman sekaligus penapis serbuan budaya (bahkan politik) dari luar? Entahlah. Yang jelas, saya terus berdo’a semoga tradisi dan kehidupan luhur pesantren tetap terjaga. Siapa tahu dalam tradisi pesantren kini juga terjadi “wolak-walik jaman”. Artinya, kalau dari jajaran dinasti kiai-kiai sendiri telah gagal mempertahankan “iman kehidupan” karena hanyut dalam budaya profan – termasuk “hubbud dunya” (cinta harta) – siapa tahu – sekali lagi siapa tahu – yang muncul menjadi tonggak budaya religius justru dari kalangan santri biasa. Jika ini terjadi maka teori “achievement” yang berdasar pada prestasi (dalam konteks ini prestasi religius) kini benar-benar terjadi. Bukankah Tuhan tak pernah menghalangi orang awam (bukan keturunan kiai) jadi ulama besar?

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO