Sastra Interdisipliner Yes, Monodisipliner No!
Editor: Tim
Kamis, 10 Maret 2022 19:06 WIB
Oleh: Agus Salimullah*
DUNIA sastra kita saat ini boleh dibilang lesu darah. Lebih-lebih di dunia pendidikan. Saya melihat tak banyak lembaga pendidikan setingkat SMA atau MA yang membuka kelas bahasa yang notabene melingkupi materi tentang sastra dan bahasa. Dari sekian banyak sekolah di suatu kota, mungkin hanya dua atau tiga sekolah yang membuka kelas bahasa.
BACA JUGA:
PT Megasurya Mas Beri CSR Beasiswa untuk 356 Siswa di Sidoarjo
Khofifah Ajak Guru Jatim Bangun Generasi Cinta Damai dengan Ciptakan Suasana Harmoni di Sekolah
Gandeng UI, Pesantren Algebra Bogor Optimistis Cetak Saintis dan Pemimpin Masa Depan
Pesan Hadratussyaikh: Guru Pakai Parfum, Jangan Ngajar Jika Ngantuk, Lapar, dan Marah
Dari hal seperti itu saja sudah bisa terbaca. Bagaimana keseriusan pemerintah, dalam hal ini pengelola sekolah mengembangkan sastra di sekolah. Tak cukup di sini saja, dengan alasan klasik, semisal keterbatasan anggaran, tidak sedikit pula perpustakaan sekolah yang mengenyampingkan buku bacaan tentang sastra, baik itu antologi puisi, antologi cerpen, novel, atau buku-buku lainnya tentang sastra.
Lantas, benarkah pula terjadinya kelesuan dunia sastra kita juga dipengaruhi dominasi perspektif monodisipliner? Kita lihat saja bagaimana sastra kita melibatkan disiplin lain dan cenderung melihat disiplin ilmu termasuk sastra secara tunggal.
Dari perspektif monodisipliner, tumbuh anggapan bahwa studi sastra hanya terbatas pada studi teks-teks sastra, dan tidak memperhatikan kaitannya dengan elemen-elemen lain di luarnya. Corak perspektif monodisipliner dapat dilihat dalam karya-karya semacam An Introduction to The Language of Poetry (Chatman, 1968), Poetic Imagery (Wells, 1961), The Verbal Icon (Wimsatt, 1967), dan Aspects of The Novel (Forster, 1978).
Perlu diingat, bahwa kajian karya sastra dengan perspektif monodisipliner akan sangat merugikan sastra itu sendiri. Sebab, perspektif monodisipliner justru mengarahkan studi sastra hanya pada persoalan bagaimana meningkatkan keterampilan berbahasa, mengembangkan kosakata, atau paling luas mencari tema-tema kemanusiaan yang dianggap universal. Akibatnya, selain membuat sastra semakin teralienasi dari disiplin-disiplin keilmuan lainnya, perspektif monodisipliner juga mereduksi makna, mengkaburkan peran sastra dan menyesatkan cara pandang terhadap realitas.
Kita lihat di Amerika dan Eropa misalnya. Dominasi perspektif monodisipliner saat ini sudah ditinggalkan. Di sana, kajian sastra telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Para ilmuan dan sastrawan di kedua benua tersebut, saling bahu-membahu mengembangkan kajian-kajian sastra hingga melampaui perspektif monodisipliner-yang mereka sebut sebagai perspektif interdisipliner. Dengan perspektif interdisipliner tersebut, orang dituntut untuk tidak hanya berkutat pada satu disiplin ilmu saja, namun secara lebih luas juga harus bisa melihat hubungan kajiannya dengan ilmu lain.
Sebenarnya ada beberapa keuntungan perspektif interdisipliner dalam studi sastra. Pertama, studi sastra tidak mengasingkan dirinya lagi dari studi-studi kemanusiaan yang praktis karena ketika bersinggungan dengan ilmu-ilmu sosial dan teknik, misalnya, studi sastra harus mampu menjawab permasalahan-permasalahan pragmatis yang dihadapi oleh manusia.
Kedua, posisi karya sastra akan sejajar dengan penelitian antropologi, sosiologi, sejarah, serta disiplin ilmu sosial lainnya. Sebab, melalui studi-studi tentang motif-motif (pola-pola) dalam karya sastra, karya-karya tersebut akan menjadi semacam pola-pola berulang dalam kehidupan manusia. Karya sastra akan menjadi monumen kemanusiaan pada tingkat lokal, nasional maupun internasional yang membantu manusia pada tingkat-tingkat yang berkaitan.
Simak berita selengkapnya ...