Pelaku Pernikahan Manusia dengan Kambing Tobat, Praktisi Hukum: Tidak Hapus Tindak Pidananya
Editor: Nur Syaifuddin
Wartawan: Syuhud
Jumat, 10 Juni 2022 09:07 WIB
GRESIK, BANGSAONLINE.com - Para pelaku pernikahan manusia dan kambing di Gresik memang sudah menyatakan khilaf dan bertaubat setelah bertemu dengan MUI Gresik. Namun, pertobatan itu menurut praktisi hukum Andi Fajar Yulinato, tidak bisa menghapus tindak pidana mereka lakukan.
Hal itu karena mereka telah mengunggah konten pernikahan manusia dengan kambing di media sosial (medsos) sehingga memiliki dampak yang luas. Masyarakat gaduh dan resah. Bahkan, ada komponen yang bereaksi mengadukan kasus tersebut ke DPRD dan Polres Gresik.
BACA JUGA:
Korupsi Hibah UMKM Gresik, Direktur YLBH FT Pertanyakan Status Siska dan Joko
Polisi Gerebek Arena Judi Sabung Ayam di Panceng
Dampingi Jokowi Resmikan Smelter Freeport di Gresik, Pj Adhy Karyono Optimis Dongkrak Perekonomian
Kejari Gresik Periksa 8 Orang Buntut Dugaan Penyimpangan Beras CSR Desa Roomo
"Bahwa peristiwa pernikahan manusia dengan kambing yang diupload di media sosial dan berakses secara luas, maka hal ini bukan hanya sebagai perbuatan melawan hukum biasa, tapi merupakan adanya pemberat unsur tindak kejahatan," ucap Fajar kepada BANGSAONLINE.com, Jumat (10/6/2022).
Dikatakan Fajar, prahara pernikahan manusia dan kambing membawa dampak buruk terhadap Gresik yang berjuluk kota santri dan kota wali. Apalagi, dari sebuah kajian berbagai elemen keagamaan, termasuk MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah tegas mengeluarkan sikap bahwa perkawinan antara manusia dengan kambing adalah sebuah penodaan agama.
"Karenanya, menurut kami telah terpenuhi unsur dugaan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik," beber Direktur LBH Fajar Trilaksana ini.
Dalam Pasal 45A ayat 2 berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang bertujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000.