Pakai Bahasa Bola, Danrem ini Ajak Suporter Robohkan Pagar Stadion
Editor: MMA
Selasa, 04 Oktober 2022 10:25 WIB
SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Gibol alias gila bola memang sulit dinalar. Apalagi ketika para gibol itu berada di dalam stadion. Berpotensi anarkis.
Maka semua yang ada dalam stadion – termasuk pihak keamanan – harus paham bahasa bola. Tak boleh pakai bahasa lain.
BACA JUGA:
Main Imbang, Arema FC dan Dewa United Soroti Kualitas Lapangan Stadion Soepriadi Blitar
Arema FC VS Dewa United di Stadion Supriyadi Kota Blitar, Polisi Terjunkan 816 Personil
Laga Arema FC Vs Dewa United FC di Stadion Soepriadi Blitar Dibatasi, Hanya 3 Ribu Penonton
Pesan Wali Kota Blitar Jelang Laga Perdana Arema FC di Stadion Soepriadi
“Apalagi bahasa gas air mata,” tulis Dahlan Iskan dalam tulisannya kali ini.
Ia menampilkan contoh seorang Danrem yang sangat paham bahasa bola. Saking pahamnya sampai ia mengaku para penonton bola merobohkan pagar stadion. Loh?
Silakan lanjutkan baca tulisan wartawan kondang itu di BANGSAONLINE.com pagi ini, Selasa 4 Oktober 2022.
SAYA selalu ingat Mangindaan. Khususnya terkait dengan tragedi stadion Kanjuruhan Malang. Yakni ketika pangkat E.E. Mangindaan masih kolonel. Jabatannya masih komandan Korem Surabaya. Ia tentara yang cinta sepakbola, luar dalam.
Ia tidak menggunakan sepak bola untuk pansos. Darah dagingnya memang sepak bola. Ia menghayati pemain bola itu kebanyakan dari keluarga miskin. Ia juga tahu persis bagaimana orang itu kalau sudah gila bola. Mereka bisa menggadaikan celana untuk menonton bola. Juga bisa mencegat truk untuk menuju stadion secara gratis. Kadang truk itu ternyata berbelok ke arah lain. Lalu cari truk berikutnya.
Hari itu Persebaya lawan PSM Makassar. Di Stadion 10 November Surabaya. Itu mirip Persebaya vs Arema sekarang.
Pintu stadion jebol. Tempat duduk tidak cukup. Antara tribun dan pagar lapangan padat dengan penonton dadakan. Barisan paling depan menempel di pagar. Di sekeliling lapangan. Pagar pun doyong. Desakan dari penonton yang baru masuk membuat yang di depan terjepit antara pagar dan desakan dari belakang.
Gawat.
Sebagai Danrem, Mangindaan harus bertanggung jawab soal keamanan. Waktu itu TNI AD masih saudara tua di jajaran keamanan. Tapi ia tenang saja. Ia tahu psikologi penonton bola: tidak bisa dilawan dengan kasar. Solidaritas mereka amat tinggi.
Mangindaan sangat tenang. Wajahnya tidak tegang. Saya di sampingnya.
Ia pun melakukan apa yang tidak saya pikirkan sama sekali: ia ke tengah lapangan. Ia membawa mikrofon. Ia mulai bicara pakai bahasa Suroboyoan, lucu, dengan logat Manadonya.
"Saya senang melihat kalian sangat antusias hari ini. Tapi pagar keliling lapangan ini, kalau roboh, kalian bisa celaka. Maka dengarkan perintah saya ini: tolong, pagar itu pelan-pelan kalian robohkan. Pelan-pelan. Hati-hati. Lalu kalian yang di depan duduklah di atas pagar yang sudah kalian robohkan itu. Kalian duduk di situ. Jangan berdiri. Ikut komando saya. Pelan-pelan. Satu..... Dua.... Tigaaaa.... (ia mengucapkan komando dengan tersenyum dan nadanya lambat)".
Maka robohlah pagar itu. Roboh dengan tertib. Penonton pun bersorak gembira. Mereka duduk di atas robohan pagar jeruji besi itu.
Pertandingan pun berlangsung dengan lancar. Tanpa insiden.
"Pak Mangindaan nanti pasti akan jadi jenderal. Kepemimpinannya kelihatan menonjol," kata saya berbisik pada pengurus Persebaya lainnya.
Kelak Mangindaan benar-benar jadi jenderal. Bintang satu, dua, dan rasanya sampai tiga. Lalu jadi gubernur Sulut. Sampai dua periode. Kalau keliling daerah di mobil dinasnya penuh bola. Tiap singgah di satu desa ia bagikan lima bola. Ke anak-anak di desa itu.
Belakangan Mangindaan jadi menteri. Menteri perhubungan. Kalau lagi menunggu sidang kabinet kami berdua sering bicara soal sepak bola.
Sepak bola itu pemersatu bangsa. Di situlah Muhammadiyah dan NU bisa benar-benar bersatu. Demikian juga pengikut Ganjar Pranowo dan Puan Maharani. Pun pendukung Anies Baswedan dan pendukung Ahok.