Sepakat Kiai Abdul Chalim Pahlawan Nasional, Inilah Poin Penting Seminar di Gedung MPR RI
Editor: M Mas'ud Adnan
Jumat, 21 April 2023 10:37 WIB
“Ia putra dari Kedung Wangsagama dan ibu Satimah. Ayahnya adalah seorang Kuwu (kepala desa dengan wilayah yang luas) dan ia sangat disegani,” tutur Kiai Asep.
Menurut dia, Kedung Wangsagama juga putra dari seorang kuwu, bernama Kedung Kertagama,” katanya.
Begitu Kedung Kertagama. Dia putra dari Buyut Liuh yang merupakan seorang pejuang republik. “Putra seorang Pangeran Cirebon, sehingga silsilah KH. Abdul Chalim pun bersambung kepada Sunan Gunung Djati,” katanya. Sunan Gunung Djati itu bernama Syarif Hidayatullah.
Kiai Asep juga menjelaskan bahwa Kiai Abdul Chalim menghabiskan masa kecilnya bersekolah di Sekolah H I S (Hollandsch Inlandsche School). Kemudian, Ia belajar di beberapa pesantren di wilayah Leuwimunding dan Rajagaluh, di antaranya Pondok Pesantren Banada, Pondok Pesantren al Fattah Trajaya, dan Pondok Pesantren Nurul Huda al Ma’arif Pajajar. Pada tahun 1913, KH. Abdul Chalim naik haji dan belajar di Mekkah.
Nah, di Makkah itulah Kiai Abdul Chalim berteman akrab dengan Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan KH Asnawi dari Kudus. “Ia tercatat sebagai anggota SI (Sarikat Islam) termuda cabang Mekkah,” kata Kiai Asep.
Jadi kegemarannya berorganisasi sudah tumbuh sejak muda, sejak mondok di Makkah. Tak aneh, jika saat kembali ke tanah air Kiai Abdul Chalim dan Kiai Abdul Wahab Hasbullah kemudian banyak mendirikan organisasi.
Bahkan Kiai Wahab dan Kiai Chalim mendapat gelar Muharrikul Afkar. Artinya penggerak dan pembangkit semangat perjuangan.
“Kiai Abdul Chalim dan Kiai Wahab itu dwi tunggal,” kata Dr Kiai As’ad Said Ali yang juga menjadi pembicara.
Karena itu, mantan Wakil Ketua BIN itu sepakat Kiai Abdul Chalim diangkat sebagai pahlawan nasional.
Senada dengan Kiai Asep, Gus Bara mengungkap poin-poin disertasinya saat meraih gelar S3 di Unpad. Putra sulung Kiai Asep Saifuddin Chalim itu menceritakan perjalanan Kiai Abdul Chalim saat mondok di Makkah hingga mendirikan NU dan terlibat perjuangan kemerdekaan RI.
Sementara Yandri Susanto mengungkapkan bahwa Kiai Abdul Chalim adalah ulama yang besar jasanya terhadap bangsa Indonesia. Karena itu ia lalu menempatkan seminar ini di Gedung MPR.
Meski demikian ada yang tak setuju. Menurut dia, ada yang mengusulkan agar seminar itu tak digelar di ruang rapat pimpinan MPR RI itu. Alasannya, “Karena ini ruang khusus pimpinan MPR. Para pimpinan MPR kalau rapat di sini. Semua masalah-masalah penting internal MPR dibahas di ruangan ini, ” kata Yandri Susanto.
Tapi Yandri mengaku tetap bersikukuh agar seminar digelar di ruangan rapat MPR itu. Menurut dia, sosok Kiai Abdul Chalim jauh lebih penting dari pada kita semua.
“Karena Kiai Abdul Chalim inilah yang mendirikan republik ini. Kalau saya hanya penikmat kemerdekaan. Kita semua hanya penikmat kemerdekaan,” kata Yandri saat memberikan sambutan dalam seminar nasional yang berlangsung sore hari menjelang buka puasa itu.
Apalagi, kata Yandri, Kiai Abdul Chalim pernah menjadi anggota MPRS. Jadi, tegas Yandri, peran Kiai Abdul Chalim sangat paripurna andilnya terhadap bangsa.
"Itulah sebabnya mengapa saya, ikut andil dalam pengusungan KH. Abdul Chalim mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional. Semoga dengan dukungan rakyat, jalan ke arah itu akan semakin mudah dan lancar," kata Yandri kepada wartawan.
Sedang Prof Dr Abdul Halim lebih banyak mengungkap sisi spiritulitas Kiai Abdul Halim, terutama menjelang wafatnya. Mengutip dokumen yang diberitakan Gus Bara dan penjelasan Kiai Asep, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya itu mengatakan bahwa Kiai Abdul Chalim selalu membawa Kitab Al-Hikam karya ulama besar Imam Ghazali.
Bahkan, kata Prof Abdul Chalim, menjelang wafatnya Kiai Abdul Chalim selalu didatangi dua orang berjubah putih yang selalu mengucapkan salam. Menurut dia, dua orang berjubah putih itu mengucapkan salam kepada Kiai Abdul Chalim tapi menyebut sebagai Imam Ghazali.
“Berarti Kiai Abdul Chalim sudah diakui sebagai santri Imam Ghazali,” kata Prof Abdul Halim menyimpulkan. (M Mas’ud Adnan)