Julukan Baru Jokowi, Presiden Pelemah KPK, Benarkah?
Editor: MMA
Selasa, 19 Desember 2023 11:33 WIB
Sikap Jokowi menolak mempertahankan independensi KPK hari-hari ini menjadi penting di tengah kontroversi Ketua KPK 2015-2019 Agus Rahardjo. Kepada Kompas TV, Agus diminta Jokowi menghentikan penyidikan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elekronik yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto. Menjelang pemilihan presden 2019, Jokowi tengah membangun koalisi dengan Partai Golkar yang kala itu dipimpin Setya.
Permintaan Jokowi itu membuktikan bahwa Presiden telah bergerak melemahkan Komisi sebelum Undang-Undang KPK direvisi. Untuk memperkuat pemerintahannya, Jokowi rela membiarkan korupsi merajalela.
Pembangunanisme Jokowi mengantarkannya pada hipotesis sungsang: makin ketat pembangunan dijaga dari para maling, makin tertatih-tatih roda pembangunan. Jokowi tampak setuju pada adagium politikus bahwa korupsi adalah oli pembangunan.
Analisis lain menyebutkan Presiden sedang memberi gula-gula agar DPR menyeujui usul pemerintah membentuk Undang-Undang Cipta Kerja. Aturan ini mengoreksi hampir 90 undang-undang yang dianggap menyulitkan investasi. Disahkan DPR pada Oktober 2020, Undang-Undang Cipta Kerja secara brutal mengabaikan tata kelola, termasuk peraturan yang menjaga lingkungan, atas nama pembangunan.
Dalam banyak wawancara dengan media di awal periode kedua pemerintahannya pada 2020, Jokowi mengatakan akan memprioritaskan pembangunan melalui investasi seraya menomorduakan perlindungan lingkungan dana hak asasi manusia. Omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja adalah cara Jokowi mewujudkan keinginannya itu.
Dengan kata lain, argumentasi itu memperkuat fakta bahwa pembangunanisme Jokowi adalah biang keladi pelemahan KPK. “Keladi” lain adalah kepentingan politikus DPR. Selama 20 tahun usia KPK, lembaga ini mengungkap 344 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR – terbanyak ketiga setelah pengusaha dan pejabat pemerintah.
Kekuasaan, tulis sejarawan Inggris, Lord Acton, dalam suratnya kepada Gereja Katholik Roma pada 1887, cenderung korup. Karena itu, kekuasaan – di tangan Jokowi atau bukan – cenderung tak suka pada pemberantasan korupsi. Kini nasi sudah basi dan tak sekedar jadi bubur. Ke depan, penguatan kembali KPK membutuhkan kerja keras yang tak mudah.
Soal pemberantasan korupsi, tiga kandidat presiden 2024-2029 baru sekedar menanam tebu di bibir. Disokong partai yang punya rekam jejak dalam pemberantasan korupsi, siapapun yang terpilih tahun depan tak akan bisa berbuat banyak. Pembiayaan politik yang kotor dan tak transparan juga akan menyandera mereka setelah nanti terpilih.
Yang menyedihkan bukan tak mungkin terjadi: diam-diam presiden terpilih berterimakasih kepada Jokowi karena telah melempangkan jalan bagi penguatan korupsi.