Golkar Partai Tanpa Ideologi dan Peluang Jokowi Jadi Ketua Umum
Editor: M Mas'ud Adnan
Sabtu, 23 Maret 2024 08:19 WIB
Oleh: M. Mas'ud Adnan
Para pengamat politik menyatakan bahwa Partai Golkar adalah partai pragmatis. Memang, partai warisan Orde Baru itu tak pernah menjadi oposisi. Golkar selalu berkoalisi dengan pemerintah, siapa pun penguasanya.
BACA JUGA:
3 Anggota Dewan Ditetapkan Sebagai Pimpinan DPRD Trenggalek
Bansos Beras Diharapkan Lanjut, Presiden Jokowi Janji Akan Bisiki Prabowo
Bersama Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Peroleh Brevet Kehormatan Hiu
Jokowi Resmikan Smelter Grade Alumina, Erick Thohir Paparkan Dampak soal Impor Alumnium
Sejatinya, Golkar merupakan partai paling banyak memiliki kader berkualitas dan berpengalaman. Maklum, Golkar menjadi partai penguasa selama 32 tahun, di bawah rezim Orde Baru, Presiden Soeharto. Tak aneh, jika tak betah jadi partai oposisi.
Karena itu salah satu kelemahan utama Golkar adalah soal independensi politik, di samping tak punya karakter ideologi yang khas. Tak aneh pula, jika pada zaman Orde Baru Golkar tak mau disebut partai, tapi lebih bersifat kekaryaan. Golongan Karya seolah mendefinisikan sebagai perkumpulan orang bekerja.
Saya masih ingat ketika Soeharto sebagai ketua pembina Golkar ekspansi ke basis Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Madura. Narasi politik yang dikembangkan oleh para petinggi Golkar adalah soal karya. Menurut mereka, Golkar bukan partai, tapi golongan orang-orang berkarya.
"Jadi gak apa-apa ikut Golkar karena ini hanya perkumpulan orang-orang berkarya. Orang berkarya kan gak apa-apa," kata seorang guru madrasah yang sudah termakan provokasi petinggi Golkar saat itu.
Alhasil, Golkar adalah partai pragmatis tanpa kekhasan ideologi. Dan ini diakui oleh Erwin Aksa, Waketum DPP Partai Golkar Bidang Penggalangan Strategis. Menurut dia, seperti dikutip detik.com, Golkar tidak berada pada ideologi tertentu.
"Punya ideologi memang bagus, tapi sering kali debat ideologi tidak selesai-selesai. Inilah yang dikritik Presiden Soekarno kalau partai debat ideologi melulu siapa yang mau kerja. Hadirlah golongan karya yang ideologinya adalah kesejahteraan, bukan -isme -isme yang ekstrem," ungkap Erwin dalam acara peluncuran buku 'Jalan Tengah Golongan Karya: Mengutamakan Persatuan dan Kesatuan demi Kemajuan Bangsa' di DPP Partai Golkar, Jakarta, Senin (26/2/2024).
Erwin adalah salah satu penulis buku tersebut.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto juga sependapat. "Partai Golkar memang selalu di tengah. Kita selalu partai sentris, partai yang berada di tengah dan kepentingan nasional. Ini yang selalu dipegang sebagai ideologi partai Golkar dan partai pembangunan. Partai yang bertujuan membangun kesejahteraan rakyat," kata Airlangga.
Karena itu mudah dipahami jika Golkar cenderung bergerak sesuai arah angin. Yaitu kepentingan. Setidaknya itulah yang bisa kita tangkap ketika Presiden Joko Widodo disebut-sebut ingin jadi ketua umum Golkar.
Saya melihat tidak ada para petinggi Golkar yang merasa tersinggung terhadap keinginan Jokowi yang bukan kader Golkar tiba-tiba mau jadi ketua umum. Tanpa pikir panjang, sebagian elit Golkar langsung welcome terhadap Jokowi. Bahkan meski sejatinya terhalang AD/ART, tapi sebagian kader Golkar justru mencarikan solusi untuk memberi jalan agar Jokowi bisa jadi ketua umum Golkar.
Salah satu elit Gokar yang cenderung mempersilakan Jokowi adalah Idrus Marham, mantan Sekjen DPP Partai Golkar. Ia menepis adanya alasan Jokowi tak bisa jadi ketua umum Golkar karena terhalang AD/ART yang menyaratkan harus menjadi kader Golkar dulu selama 5 tahun.
Idrus mengungkit kasus Ridwan Kamil menjadi Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar.
"Kalau di dalam aturan ART, Pasal 18, untuk jadi pengurus itu harus menjadi 5 tahun anggota. Untuk jadi ketum 5 tahun jadi pengurus. Nah Pak RK sudah 5 tahun nggak? Ya tidak," kata Idrus Marham dikutip sindonews.com.