Dulu, NU Terkenal karena Kesantunan dan Kebijaksanaanya, Sekarang?
Editor: MMA
Minggu, 11 Agustus 2024 20:30 WIB
Oleh: Khariri Makmun
JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, dengan pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya bangsa. Sebagai sebuah organisasi yang telah berdiri dari satu abad, NU tidak hanya berfungsi sebagai wadah penggerak dakwah Islam yang moderat, tetapi juga sebagai benteng moral yang menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
BACA JUGA:
Khofifah Ajak Nahdliyin Implementasikan Qanun Asasi NU saat Harlah Muslimat ke-78 di Kota Batu
Di Haul ke-34 Syaikhuna KH Anwar Nur, Khofifah Berbagi Cerita soal Jatim Berkah
Silaturahmi ke Keluarga Pendiri NU, Mundjidah-Sumrambah Minta Restu
Soal MLB NU, Cucu Syaikhona Kholil Bangkalan: Jangan-jangan Mereka Gak Bisa Ngaji
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ada kekhawatiran yang berkembang terkait dengan kemampuan NU untuk tetap menghadirkan kesejukan, baik di dalam tubuh organisasi maupun dalam interaksinya dengan masyarakat luas.
Di masa lalu, NU dikenal karena kesantunan dan kebijaksanaan para pemimpinnya dalam menyikapi berbagai perbedaan pendapat, baik dalam urusan internal maupun eksternal. Para ulama NU selalu menekankan pentingnya adab dalam berbicara dan berinteraksi, sebuah tradisi yang menjadi ciri khas NU sebagai organisasi yang menjunjung tinggi akhlak dan nilai-nilai keislaman. Kesantunan ini bukan hanya sebatas pada cara mereka menyampaikan pendapat, tetapi juga dalam cara mereka berinteraksi dengan pihak-pihak yang berbeda pandangan, baik di dalam organisasi maupun di luar.
Kesantunan dalam berkomunikasi menjadi kunci utama yang menjaga marwah NU selama ini. Misalnya, KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dikenal sebagai sosok yang sangat bijaksana dalam menyikapi perbedaan pendapat. Beliau tidak pernah terburu-buru dalam mengambil keputusan atau memberikan pernyataan yang bisa menimbulkan kegaduhan. Sebaliknya, beliau selalu menekankan pentingnya musyawarah dan mencari titik temu yang bisa diterima oleh semua pihak.
Contoh lain adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seorang tokoh NU yang sangat dikenal luas tidak hanya di kalangan warga NU tetapi juga di seluruh Indonesia. Gus Dur sering kali menghadapi situasi yang penuh dengan perbedaan pendapat dan ketegangan, baik di ranah politik maupun sosial. Namun, Gus Dur selalu mampu menjaga kesantunan dalam setiap perkataannya, bahkan ketika beliau berada di bawah tekanan. Hal ini tidak hanya membuat beliau dihormati oleh kawan, tetapi juga oleh lawan politiknya.
Di tengah perkembangan zaman yang semakin kompleks, tantangan yang dihadapi oleh NU juga semakin beragam. Di satu sisi, NU harus tetap teguh dalam memegang prinsip-prinsip keislaman yang moderat, di sisi lain, NU juga harus berhadapan dengan dinamika politik dan sosial yang kadang-kadang bisa menjadi sangat panas. Dalam situasi seperti ini, kemampuan NU untuk menghadirkan kesejukan sangatlah penting.
Namun, belakangan ini kita sering menyaksikan pernyataan-pernyataan yang justru menimbulkan kegaduhan dan konflik, baik di internal NU maupun dengan pihak luar. Hal ini tentu sangat memprihatinkan dan dapat merusak citra NU di mata publik. Sikap dan cara berkomunikasi yang tidak
santun tidak hanya berpotensi merusak hubungan di antara anggota NU, tetapi juga bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap NU sebagai penjaga moral bangsa.
Menghadapi perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam organisasi sebesar NU. Namun, cara kita menyikapi perbedaan tersebut akan menentukan apakah kita bisa menjaga persatuan atau justru menciptakan perpecahan. Di sinilah pentingnya kembali mengedepankan kesantunan dan kebijaksanaan dalam berkomunikasi. Para ulama NU di masa lalu selalu mampu menjaga keseimbangan antara prinsip dan keterbukaan terhadap perbedaan pendapat. Sikap ini harus menjadi teladan bagi generasi penerus NU dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan.
Khittah NU: Kembali pada Jalur Dakwah dan Pemberdayaan Umat
Khittah NU adalah panduan dasar yang seharusnya menjadi pegangan bagi seluruh warga NU dalam menjalankan aktivitas organisasi. Khittah ini menegaskan bahwa NU adalah organisasi keagamaan yang fokus pada dakwah dan pemberdayaan umat, bukan pada politik praktis. Meskipun NU memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan politik Indonesia, namun NU seharusnya tetap menjaga jarak dari permainan politik praktis yang bisa merusak marwahnya sebagai penjaga moral bangsa.
Intervensi politik yang berlebihan bisa membuat NU kehilangan arah dan mengabaikan tugas utamanya dalam memelihara ajaran Islam yang moderat dan inklusif. Lebih dari itu, keterlibatan yang terlalu dalam dalam politik praktis juga bisa menciptakan konflik internal yang berkepanjangan, seperti yang sering terjadi di berbagai organisasi besar lainnya. Untuk itu, NU harus kembali pada khittah-nya sebagai organisasi keagamaan yang fokus pada dakwah dan pemberdayaan umat. Ini bukan berarti NU harus menutup mata terhadap dinamika politik yang terjadi, tetapi NU harus mampu menjaga keseimbangan antara prinsip keagamaan dan keterlibatan sosial-politik.