Sejumlah BUMN Bakal Digabung, Sri Mulyani: Kondisi BUMN Memalukan
Kamis, 25 Agustus 2016 01:37 WIB
Di sisi lain, reaksi mengenai rencana penggabungan sejumlah BUMN temasuk yang bergerak dalam bidang migas mulai bermunculan.
Dalam seminar "Arah Revisi UU BUMN dalam Memperkuat Perekonomian Nasional" yang diselenggarakan Kaukus Muda Indonesia (KMI) muncul rekomendasi Kemententerian BUMN diminta untuk menunda wacana holdingisasi BUMN sampai revisi Undang-undang (UU) BUMN selesai dibahas. Dengan demikian ada kejelasan payung hukum.
Diskusi itu menghadirkan anggota DPR Komisi VI, Arya Bima; ekonom senior yang juga bekas Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri; anggota BPK, Komisaris Jasa Marga, Refly Harun' dan Rektor Paramdina, Firmanzah.
Arya Bima pada kesempatan itu mengatakan, wacana holdingisasi sebaiknya menunggu hingga revisi UU BUMN selesai agar ada payung hukum yang jelas bagi keputusan nan strategis tersebut. Menurut politisi PDI Perjuangan tersebut, keputusan itu pastinya berpengaruh pada masalah struktur modal di BUMN.
"Maka sejatinya holding itu adalah kewenangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Jadi bukan Kementerian BUMN. Kewenangan perubahan struktur modal BUMN adalah kewenangan Kemenkeu RI. Bukan Kementerian BUMN. Itu juga salah satu poin yang nanti akan dirubah di revisi UU BUMN," ujarnya.
Dia menambahkan BUMN dengan core bisnis yang menyangkut hajat hidup orang banyak (semisal BUMN sektor energi), mutlak dan wajib hukumnya dikuasai oleh negara dan bukan badan usaha privat atau swasta.
"Yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti sektor energi, wajib dikelola dan dikuasai oleh Negara, tidak boleh swasta, karena dikhawatikan yang terjadi justru monopoli, dan itu bahaya," tegas Arya.
Hal senada disampaikan Faisal Basri bahwa rencana Menteri BUMN untuk membentuk Holding BUMN Migas, selain banyak menabrak aturan hukum ternyata hal itu tidak lazim dilakukan di dunia korporasi dan investasi.
"Dengan skema Holding dari Kementerian BUMN ini, PGN (Perusahaan Gas Negara/salah satu BUMN yang diakuisisi), tidak lagi berstatus sebagai BUMN, melainkan swasta murni yang tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas," katanya.
Sementara Prof. Firmanzah berpendapat bawah wacana holding BUMN diperlukan pembahasan yang lebih komprehensif, mengingat hal ini masih baru dan bagaimana in-line dengan konstitusi yang ada dan pembagian peran masing-masing lembaga negara terkait.
"Saya rasa niatannya untuk memajukan BUMN. Tinggal bagaimana pengaturan atau penyesuaiannya," ujar Staf Khusus Kepresidenan Bidang Perekonomaian era Presiden SBY ini.
Sebelumnya UU 19/2003 tentang BUMN dinilai mendesak untuk direvisi. Poin-poin yang menjadi kelemahan menurut banyak pengamat dan akademisi diantaranya adalah, tumpang tindihnya kewenangan dalam tata kelola BUMN (antara KemenBUMN dengan Kemenkeu) serta UU ini yang dinilai tidak relevan guna menghadapi era pasar global.
Namun DPR sendiri hingga kini, belum dapat memastikan kapan pastinya revisi UU BUMN ini akan selesai, dan dapat segera dijadikan dasar hukum yang memayungi bidang paling strategis di negeri ini. (rmol/mer/kcm/tic/lan)
sumber : rakyatmerdeka/merdeka.com/kompas.com