KPU Sosialisasi UU Pemilu ke Kkalangan Mahasiswa: Buta Politik Lebih Bahaya daripada Buta Huruf
Wartawan: M Didi Rosadi
Sabtu, 04 November 2017 01:36 WIB
SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Fandi Utomo mengatakan, pendapat seorang filsuf Jerman yang menyatakan orang yang bodoh itu bukan karena buta huruf melainkan orang yang buta politik. Alasannya, hampir semua kebutuhan hajat hidup seluruh masyarakat itu ditentukan oleh proses politik baik di parlemen ataupun di pemerintah dan tempat-tempat lain
"Sejak awal kehidupan seseorang sudah diatur dalam konstitusi, karena itu buta politik sebenarnya itu jauh lebih berbahaya dari buta huruf," ujar politisi asal Partai Demokrat saat menjadi narasumber sosialisasi UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu bersama KPU RI di Fakultas Hukum Unair, Jumat (3/11).
BACA JUGA:
Pekerja MPS Trowulan Kompak Pilih Gubernur yang Full Senyum
Rapat Konsolidasi Tim Pemenangan Pilgub Jatim, Khofifah Tekankan Politik Santun
Para Waranggono di Tiga Kabupaten Jatim Utara Deklarasi Menangkan Khofifah-Emil di Pilgub Jatim
Komunitas Perempuan Relawan ‘Prokem’ Deklarasi Menangkan Khofifah-Emil
Agar angka buta politik bisa diminimalisasi, lanjut Fandi, maka dari sisi negara perlu menyiapkan instrumen yang cukup. Seperti parpol, penyelenggara pemilu dan sarana serta prasarana yang mempermudah orang menggunakan hak pilih (berpartisipasi) maupun menyediakan anggaran yang cukup.
Di sisi lain, stigma politik itu jelek dan buruk sebetulnya juga harus dijelaskan ke masyarakat khususnya melalui pendidikan. "Ini penting sebab dalam politik itu ada kebajikan yang diperjuangkan jadi tidak ada politik tanpa kebajikan. Kalau ada pertempuran antara kebaikan dan keburukan itu suatu keniscayaan," ungkap dia.
Banyaknya persoalan di parlemen juga menyebabkan stigma lembaga DPR jelek. Begitu juga di lembaga pemerintahan, banyak pejabat bermasalah karena mereka tak sungguh-sungguh memperjuangkan janji-janjinya atau lupa.
"Perjuangan politik dan problematika politik itu perlu dibedakan," kata Fandi Utomo.
Diakui Fandi, sistem pemilu terbuka memang menimbulkan persoalan, karena memilih orang-orang yang berkompeten dan berintegritas itu tidak menjadi parameter utama. Kata dia, parameter yang digunakan adalah popularitas dan elektabilitas yang tak inlainder dengan integritasnya. Namun di sisi lain sistem terbuka juga memiliki kelebihan yaitu mendekatkan pemilih dengan wakilnya.
"Jadi kalau mau perbaikan ya dimulai dari pemerintahan dulu lah," tambah dia.
Simak berita selengkapnya ...