Amplop Abu-abu dan Nabi Khidir | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Amplop Abu-abu dan Nabi Khidir

Sabtu, 25 November 2017 21:58 WIB

“Memangya ada berapa? Setahuku ya cuma itu.

Aku tidak mengusutnya lebih lanjut, mungkin justru aku yang lupa menghitung pertemuanku dengan lelaki misterius itu, lima atau enam kali. Aku memperhatikan dengan cermat lima amplop abu-abu itu.

Ternyata di semua amplop itu terdapat tulisan berhuruf Arab kecil-kecil, singkat-singkat, dan masing-masing ada tertera tanggalnya.

“Ada apa, Pak?” Tanya istriku tertarik sambil duduk di sampingku.

Aku tak menghiraukan pertanyaannya. Aku mencoba mengurutkan tanggal-tanggal di lima amplop itu.

Kemudian membaca apa yang tertulis di masing-masing amplop secara berurutan sesuai tanggalnya. Aku kaget. Semuanya justru nasihat untukku sebagai mubalig yang biasa menasihati orang.

Aku pun menyesal mengapa amplop-amplop itu tidak aku buka pada waktunya. Amplop pertama kubaca:

“‘Ud’uu ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanah (Ajaklah orang ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik).”

 Genuk, Semarang, 8 Juli 2001.

Amplop kedua: “Sebelum Anda menasihati orang banyak, sudahkah Anda menasihati diri Anda sendiri?.” Cilegon, 11 Juli 2001”.

Amplop ketiga: “Amar makruf dan nahi munkar seharusnya disampaikan dengan cara yang makruf juga.” Beji, Tuban, 10 September 2001.

Amplop keempat: “Yasirruu walaa tu’assiruu! (Berikan yang mudah-mudah dan jangan mempersulit!).” Duduk, Gresik, 4 Januari 2002.

Dan amplop kelima: “Ya ayyuhalladziinaaamanu lima taquuluuna malaa taf’aluun! (Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya?. Besar sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya!).” Batanghari, Lampung Timur, 29 April 2002.

Aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang pernah aku ceramahkan di tempat-tempat di mana aku menerima amplop-amplop itu.

Ternyata aku tidak bisa mengingatnya. Bahkan aku tidak ingat apa saja yang aku bicarakan pada kesempatan-kesempatan lainnya.

Ternyata aku lupa semua yang pernah aku katakan sendiri.

Ah, Siapa pun orang itu -atau jangan-jangan malaikat- aku merasa berutang budi. Sebagai mubalig, pekerjaanku hanya memberi nasihat. Jadi memang jarang sekali aku mendengarkan nasihat.

Aku sungguh bersyukur ada yang menasihatiku dengan cara begitu, sehingga sebagai mubalig, aku tidak perlu kehilangan muka.

Aku jadi mengharap mudah-mudahan bisa bertemu lagi dengan lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah bersih itu di pengajian-pengajian mendatang.

“Kau masih ingat isi dari amplop-amplop ini?” tanyaku pada istriku yang masih seperti bingung memperhatikanku.

“Siapa yang tidak ingat isi amplop-amplop itu? Kalau yang lain mungkin aku lupa. Tapi amplop-amplop warna abu-abu itu aku tidak bisa lupa. Soalnya semua isinya sama, selalu dua ratus ribu rupiah. Malah semuanya masih saya simpan.”

“Masih kau simpan?” kataku kaget campur gembira.

“Jadi semuanya masih utuh? Berarti semuanya ada satu juta rupiah?”

“Ya, masih utuh. Wong aku tidak pernah mengutik-utik uang itu. Rasanya sayang, uangnya masih baru semua, seperti baru dicetak. Aku simpan di bawah pakaian-pakaianku di lemari,” ujar istriku sambil beranjak ke kamarnya, mau mengambil uang yang disimpannya.

Aku menunggu tak sabar. Tak lama kemudian tiba-tiba, “Paaak!” Terdengar suara istriku berteriak histeris.

“Lihat kemari, Pak!”

Aku terburu-buru menghambur menyusulnya ke kamar. Masya Allah.

Kulihat lemari pakaian istriku terbuka dan dari dalamnya berhamburan uang-uang baru seratus ribuan, seolah-olah isi lemari itu memang hanya uang saja. Istriku terpaku dengan mata terbelalak seperti kena sihir, melihat lembaran-lembaran uang yang terus mengucur dari lemarinya.

Dalam takjubku, aku sendiri masih melihat sebuah amplop abu-abu ikut melayang di antara lembaran-lembaran uang itu. Aku segera menangkapnya

Nah, ini dia yang satu lagi. Jadi benar hitunganku, enam kali aku bertemu lelaki itu. Ini amplop keenam. Tanpa mempedulikan istriku yang masih bengong memandangi lembaran-lembaran uang yang berterbangan, aku amati amplop itu seperti mengamati amplop-amplop lainnya tadi.

Dan ternyata di sini juga terdapat tulisan Arab kecil-kecil.

Isinya, “Wamal Hayaatud Dun-ya illa mataa’ul ghurur! (Kehidupan duniawi itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan!).” Arafah, 9 Dzulhijjah 1418.

Tidak seperti amplop-amplop lainnya, yang satu ini juga ada tertera nama dan tanda tangan, “Hamba Allah, Khidir!”

Tahun 1418 aku memang naik haji, tapi aku tidak ingat pernah bertemu lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah jernih itu.

Rasanya di Arafah semua orang berpakaian putih-putih.

SubhanAllah!


__________________________________________________
-Disadur dari buku beliau, Kumpulan Cerpen "Lukisan Kaligrafi"-

 

 Tag:   Religia Gus Mus

Berita Terkait

Bangsaonline Video