PBNU Tolak Fatwa MUI yang Haramkan Rokok
Selasa, 14 Oktober 2014 12:17 WIB
Sementara Peneliti senior pada lembaga Masyarakat Pemangku Kepentingan
Kretek Indonesia (MPKKI) Prof Kabul Santoso mengatakan seharusnya Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mudah terpengaruh oleh sindiran kalangan
tertentu yang memaksa agar segera mengaksesi Framework Convention on Tobacco
Control (FCTC).
"Jangan hanya karena disindir Indonesia tidak mengaksesi FCTC, lalu
pemerintah memaksakan kehendaknya untuk membunuh petani dan industri
tembakau yang selama ini menjadi sumber penghasilan masyarakat dan
negara," tegas Prof Kabul Santoso dalam keterangan persnya di Jakarta,
Selasa (14/10).
MPKKI berharap di akhir masa pemerintahannya, Presiden SBY memberikan warisan
berharga dengan tidak mengaksesi FCTC. Sikap Presiden SBY bila menolak meneken
FCTC itu merupakan wujud perlindungan terhadap keberlangsungan industri
nasional tembakau dari hulu ke hilir. Ratifikasi tidak hanya berdampak pada
petani tembakau, namun juga bakal merontokkan industri rokok kretek nasional.
Padahal, industri ini menyerap jutaan tenaga kerja. Belum lagi tenaga kerja di
bisnis yang mendukung pertanian tembakau dan industri rokok kreteknya.
Lebih lanjut Kabul mengingatkan, Presiden SBY pernah berjanji tidak akan
mengaksesi FCTC di hadapan petani tembakau saat menghadap Istana pada April
2014 lalu. Studi lapangan MPKKI ke beberapa negara penghasil tembakau, antara
lain Jerman, Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Tiongkok menunjukkan
keberpihakan pemerintah negara-negara tersebut terhadap industri tembakau
nasional.
Empat negara tersebut memiliki UU sendiri yang mengatur pertembakauan. Khusus
kasus di Tiongkok, dengan jumlah perokok mencapai 390-an juta lebih. Meskipun
Tiongkok akhirnya mengaksesi FCTC, tetapi keberpihakan pemerintah melindungi
industri rokok dalam negerinya sangat baik. Bahkan, AS sampai hari ini tidak
mengaksesi FCTC. AS dan Swiss hanya tanda tangan FCTC, tetapi tidak
meratifikasi.
"Apakah pemerintah siap dengan dampak ekonomi sosialnya? Apakah pemerintah
mampu menyediakan lapangan pekerjaan untuk sumber daya manusia yang
banyak?," tanyanya.
“Selain itu, rokok kretek di Indonesia sudah menjadi trademark. Di dunia ini,
kretek hanya ada di Indonesia. Seharusnya, kretek justu dilestarikan seperti
halnya cerutu Kuba," tambah mantan rektor Universitas Negeri (Unej) Jember
ini.
Data MPKKI menyebutkan, di Indonesia terdapat 20 daerah sentra penghasil
tembakau di mana masyarakat masih banyak yang membutuhkan sebagai sumber
penghidupan mereka. Fakta ini harus dibarengi adanya serapan industri untuk
bahan baku industri rokok.
"Agak aneh Indonesia sebagai produsen kretek dengan produk sangat khas
dibunuh sendiri oleh pemerintah melalui berbagai regulasi, di antaranya PP
109/2012, Permenkes 28/2013, peraturan tentang cukai rokok," ujarnya.
sumber : Rmol.com