Ngeri, Para Remaja Jadi Teroris Gara-gara Tiga Pertanyaan Ini, Apa Saja?
Editor: Em Mas'ud Adnan
Wartawan: Tim
Sabtu, 03 Agustus 2019 19:42 WIB
MOJOKERTO, BANGSAONLINE.com - Mantan pelaku teror, Nasir Abbas, mengaku jadi teroris sejak remaja, yaitu usia 18 tahun. “Memang usia remaja itu yang paling mudah dipengaruhi dan gampang direkrut,” kata Nasir Abbas saat memberikan testimoni tentang pengalamannya sebagai teroris di hadapan ribuan santri Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet Mojokerto Jawa Timur, Kamis (1/8/2019).
Menurut dia, anak-anak muda yang telat belajar agama sangat rawan sekali terjangkit radikalisme. Sebab ilmu pengetahuan agama mereka masih sangat dangkal. Ia memberi contoh pengalaman dirinya sendiri.
BACA JUGA:
Polda Jatim Kolaborasi dengan Ponpes Wali Barokah Bentengi Santri dari Pengaruh Radikalisme
Densus 88 Gelar Sosialisasi Kebangsaan di Lamongan
Ghibah Politik Ramadhan: Menyoal PBNU tentang Politik Dinasti dan Misi Gus Dur
Tiga Napi Tindak Pidana Terorisme di Lapas Kediri Nyatakan Ikrar Setia pada NKRI
“Saya dulu pada tahun 1987 dikirim ke wilayah konflik di Afghanistan berumur 18 tahun,” kata Nasir Abbas sembari mengatakan bahwa di Afghanistan ia diajari cara menggunakan senjata dan merakit bom. Sejak itu ia jadi teroris yang ditugasi ke beberapa negara dengan nama dan identitas diri yang selalu berubah.
Siapa yang mengirim? “Ustadz Abu Bakar Baa’syir,” kata Nasir Abbas. Kini Abu Bakar Ba’asyir mendekam dalam penjara karena terlibat kasus terorisme di berbagai daerah dan negara. “Saya ketemu kiai, tapi kiai yang gak benar,” katanya penuh nada penyesalan.
Ia mengaku bertemu Abu Bakar Baasyir di Malaysia saat usia 16 tahun. Sejak itu ia seperti kerbau dicocok hidungnya. “Saya sebenarnya gak tahu tapi saya ngikut saja. Karena itu adik-adik santri harus cerdas dalam memahami agama. Jangan seperti saya. Saya saat itu hanya ikut-ikutan saja,” kata Nasir Abbas kepada para santri Amanatul Ummah.
Nasir Abbas lalu memberi contoh cara dan strategi para teroris merekrut calon anggota baru, terutama anak-anak remaja yang baru belajar agama Islam. “Coba adik-adik santri jawab. Lebih baik mana Al-Quran dan Pancasila,” tanya Nasir Abbas kepada para santri Amanatul Ummah yang memadati Masjid Raya KH. Abdul Chalim. Para santri itu langsung menjawab, “Al-Quran…”.
Nasir Abbas kemudian melontarkan pertanyaan lagi, “Lebih baik mana Nabi Muhammad dan Pak Jokowi.” Para santri langsung menjawab, “Nabi Muhammad...”
“Lebih baik mana antara negara Islam dan negara kafir,” tanya Nasir Abbas lagi. Para santri menjawab, “Negara Islam.”
“Nah, dengan jawaban-jawaban itu adik-adik santri tanpa terasa sudah terpengaruh dan masuk jaringan teroris,” kata Nasir Abbas. Kenapa? “Karena pertanyaan-pertanyaan seperti itu seharusnya tak perlu dijawab karena tidak selevel. Itu pertanyaan-pertanyaan salah. Masak Al-Qur’an dibandingkan dengan Pancasila. Masak Nabi Muhammad dibandingkan dengan Pak Jokowi,” kata Nasir Abbas.
Tapi itulah strategi para teroris untuk mengelabuhi dan menjebak mangsanya, terutama untuk menjaring anggota teroris baru. Dengan jawaban-jawaban itu, kata Nasir Abbas, para teroris itu lalu mengembangkan doktrin.
“Kalau lebih baik Al-Quran mari kita ganti Pancasila dengan Al-Quran. Kalau negara Islam lebih baik dari negara kafir, mari kita ganti negara Pancasila yang kafir dengan negara Islam. Kalau lebih baik Nabi Muhammad mari kita ganti Jokowi. Tujuannya kan agar kita membenci Pak Jokowi,” kata Nasir Abbas. Saat itulah otak anak-anak muda mulai tercuci secara tidak sadar. Ngeri.
Simak berita selengkapnya ...