Kadin Jatim Sepakat Tekan Prevalensi Perokok Anak
Editor: Nizar Rosyidi
Wartawan: Nanang Fachrurrozi
Senin, 28 September 2020 21:27 WIB
Sulami membenarkan bahwa selama ini prevalensi perokok anak Indonesia memang terus mengalami kenaikan. Di tahun 2018, naik 9,1 persen, dan Gapero bersepakat untuk menurunkannya di tahun ini menjadi 8,4 persen.
"Dari industri kami menghindari adanya kenaikan prevalensi perokok anak karena selama ini kami sudah melakukan aturan yang telah ditentukan. Tetapi kami tidak bisa kontrol keseluruhan rokok kalau sudah ada di market. Tetapi kami selalu memberikan imbauan kepada agen dan penjual agar tidak menjual rokok pada anak," tegasnya.
Ia menegaskan, asumsi perokok dini dipicu karena harga rokok murah dengan cara pemerintah mengeluarkan aturan Dirjen Bea Cukai Nomor 37/2017 sebenarnya tidak sepenuhnya benar.
Terlebih, menurut Sulami, kebijakan pemerintah dalam mengontrol konsumsi rokok sudah banyak dilakukan. Di antaranya dengan pemungutan cukai, PPN dan Pajak Rokok yang mencapai 61 persen dari harga banderol rokok itu sendiri, harga jual rokok yang ditentukan oleh pemerintah dan selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Sejumlah kebijakan tersebut dinilai sudah berdampak dengan menurunnya jumlah pabrik rokok di Indonesia. Pada tahun 2007, jumlah industri rokok mencapai 4.669. Di tahun 2017, jumlah tersebut turun menjadi 779 industri. Selain itu, produksi juga turun.
Pada kesempatan tersebut, Sulami juga memaparkan data yang sedikit berbeda bahwa kenaikan harga rokok tidak berpengaruh pada penurunan prevalensi perokok anak. Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa jika harga rokok naik, 57 persen perokok usia dini memilih tidak beralih produk rokok, sedangkan 43 persen lainnya memilih untuk beralih ke produk lain.
"Hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga rokok tidak berpengaruh terhadap perubahan konsumsi rokok usia dini," katanya.
Ia menjelaskan, faktor dominan yang menjadi penyebab perokok usia dini, yakni keluarga merokok, pendidikan ayah, lingkungan sosial sekitar rumah dan teman sekolah.
"Adanya keluarga merokok yang tinggal serumah berpeluang 3 kali menyebabkan anak usia dini mengonsumsi rokok. Pendidikan ayah yang rendah berpeluang 1,4 kali lebih besar bagi anak usia dini mengonsumsi rokok," tambahnya.
Pada kesempatan tersebut, Kepala Bidang Perlindungan dan Tumbuh Kembang Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan Jatim, Herawanto Ananda menyatakan bahwa larangan menjual rokok pada anak sebenarnya sudah ada, tetapi sejauh ini penegakan hukumnya yang masih lemah, sehingga sanksi bagi pelanggar tidak ada. "Yang bisa dilakukan hanya dengan memberikan sanksi sosial," tegas Herawanto.
Sementara itu, Kepala Prodi Ilmu Politik FISIP Unair dan Pengamat Kebijakan Politik, Kris Nugroho mengatakan bahwa data yang dipaparkan Alit sangat menarik karena ini merupakan penegasan yang kesekian bahwa anak perokok menjadi hal yang terbuka. Penelitian yang sama juga telah dilakukan oleh penelitian lain. Hanya saja, penelitian-penelitian tersebut terbentur pada follow up.
"Inilah yang kemudian saya tegaskan bahwa temuan ini lebih baik diarahkan pada rekomendasi atas kekosongan regulasi atau undang-undang untuk melindungi anak. Ini menurut saya sangat strategis," pungkasnya. (nf/zar)