Organisasi Buzzer Sukses "Manipulasi Opini Publik", Kado Ulang Tahun Emas LP3ES
Editor: MMA
Sabtu, 21 Agustus 2021 08:33 WIB
Oleh: M Mas’ud Adnan---Mengerikan! Itulah kata yang pas untuk menggambarkan efek buruk para buzzer dan inlfuencer terhadap bangsa dan negara ini. Hasil penelitian Center for Media and Democrazy Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menunjukkan bahwa para buzzer dan influenzer itu adalah “kaki tangan” politikus yang selama ini telah berhasil “memanipulasi opini publik”.
Di antaranya dalam kasus revisi UU KPK. Mereka menciptakan tagar #KPKdanTaliban. Tujuannya untuk memberikan citra buruk bahwa di dalam KPK ada ekstremis dan radikalis. Citra buruk itu sengaja mereka cipta agar dalam jajak pendapat mereka bisa unggul.
BACA JUGA:
Tingkatkan Partisipasi Pemilih Gen Z, KPU Jatim Gandeng Influencer
Pemilu Dungu, Pengusaha Wait and See, Ekonomi Tak Menentu
Tiongkok Banjir Mobil Listrik
Hati Rakyat Sulit Dibeli, Partai Penguasa Gagal Menang
Seperti ditulis Dahlan Iskan di Disway hari ini, Sabtu 21 Agustus 2021, penelitian itu dilakukan bertolak dari keprihatinan atas kemerosotan kualitas demokrasi di Indonesia. Memang. Sekarang, semua tokoh, terutama para peneliti dan intelektual, baik nasional maupun internasional, punya kesimpulan sama. Bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemerosotan luar biasa.
Loh valid atau obyektifkah hasil penelitian itu? Asal tahu saja LP3ES adalah lembaga yang memiliki kredibilitas tinggi. Pada jaman Orde Baru LP3ES dikenal sebagai lembaga independen sangat kritis.
Pendiri LP3ES antara lain Nono Anwar Makarim (ayahanda Mendibudristek Nadiem Makarim) dan Ismet Hadad. Sementara alumninya adalah Menko PMK Prof Dr Muhadjir Effendy, Menteri Agraria danTata Ruang/Kepala BPN Dr Sofyan Djalil. Termasuk Dahlan Iskan, wartawan terkemuka di negeri ini, juga hasil didikan LP3ES.
Tentu masih banyak tokoh lagi. Termasuk Prof Dr Didik J Rachbini yang kini jadi pemimpin LP3ES.
Nah, Kamis kemarin LP3ES berulang tahun ke-50. Dirayakan lewat Webinar. Menurut Dahlan Iskan, 25 orang lebih jadi pembicara, termasuk Nono Anwar Makarim, Dahlan Iskan, Muhajir Effendy, Dr Sofyan Djalil, dan yang lain.
Masih menurut Dahlan Iskan, Dr Wijayanto, Direktur Center for Media and Democrazy LP3ES, menyerahkan buku baru untuk hadiah ulang tahun emas LP3ES kemarin. Judulnya: Demokrasi Tanpa Demos. Buku berkualitas itu merupakan tulisan 100 ilmuwan terpilih. Termasuk 10 lebih Indonesianis (ahli Indonesia) dari negara-negara lain.
(Dahlan Iskan. foto: ist)
Widjayanto mengemukakan bahwa di media sekarang telah terjadi “manipulasi opini publik”. Hasil nyata dari manipulasi opini publik itu, salah satunya, revisi UU KPK. Ya ulah buzzer itu.
Wijayanto mengambil contoh hasil jajak pendapat Kompas. Ketika harian terkemuka di Indonesia itu melakukan jajak pendapat, hasilnya mengejutkan: yang setuju revisi 44,9 persen. Sedang yang mempertahankan UU KPK hanya 39,9 persen.
(Dr Wijayanto. foto Disway)
LP3ES pun melakukan penelitian mendalam soal itu. Termasuk melakukan Social Network Analysis (SNA).
Dalam “organisasi” buzzer, kata Wijayanto, ada yang disebut front liner, koordinator, dan tangan kanan politikus. “Kami sampai mengetahui siapa mereka,” kata Wijayanto seperti dikutip Dahlan Iskan dalam tulisannya berjudul Organisasi Buzzer.
Di barisan front liner, kata Wijayanto, terdiri dari berbagai bidang. Ada yang tugasnya menciptakan meme, grafik, narasi kata-kata, mem-posting dan memperbanyak. Mereka ini umumnya orang yang direkrut lewat bayaran antara Rp 2 juta sampai Rp 3 juta per bulan. Atau ratusan ribu per minggu.
Di atas mereka adalah koordinator. Tapi para front liner itu tidak tahu siapa nama koordinator mereka.
“Di atas koordinator itu belum langsung si politikus. Tapi tangan kanan politikus,” kata Wijayanto. “Akhirnya kami tahu tagar apa arahnya ke politikus dari mana,” tambahnya.
Di luar itu ada yang disebut influencer. “Buzzer pasti tidak pakai nama asli. Kalau influencer menunggunakan nama asli,” ujar Wijayanto.
Menurut Wijayanto, influencer itu mainnya halus. Buzzer-lah yang memanfaatkannya habis-habisan. Bisa jadi antara influencer dengan buzzer tidak saling mengenal, tidak ada hubungan samasekali.