Andhika Ramadhani Calon Bintang, Ibunya Jualan Kopi, Inilah Kisah Hidup Kiper Persebaya itu
Editor: MMA
Kamis, 28 Oktober 2021 06:33 WIB
SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Andhika Ramadhani, kiper Persebaya,
kini jadi perbincangan publik. Ia calon bintang. Tapi tahukah Anda bahwa
di balik sukses itu ia lahir dari keluarga miskin? Ibunya penjual kopi.
Benarkah?
Simak tulisan wartawan terkemuka, Dahlan Iskan, di Disway dan HARIAN BANGSA pagi ini, Kamis 28 Oktober 2021.
BACA JUGA:
Dua Kali Berkandang di Stadion Soepriadi Kota Blitar, Arema FC Belum Raih Kemenangan
Laga Kandang Kedua Arema FC di Stadion Soepriadi Dijaga 671 Personel Gabungan
Arema FC VS Dewa United di Stadion Supriyadi Kota Blitar, Polisi Terjunkan 816 Personil
Segini Harga Tiket Arema FC Vs Dewa United di Stadion Supriyadi Kota Blitar
Di bawah ini BANGSAONLINE.com yang menurunkan secara lengkap. Khusus pembaca di BaBe, sebaiknya klik ‘lihat artikel asli’ di bagian akhir tulisan ini. Tulisan di BaBe banyak yang terpotong sehingga tak lengkap. Selamat membaca:
MESKI kalahan, bagaimana lagi. Tetap saja harus menonton. Toh tinggal hidupkan TV.
Perasaan saya pun sudah saya tata: agar bisa menerima kekalahan itu lagi. Kan lawannya kali ini berat: Persija Jakarta.
Lawan tim selemah Persela Lamongan saja 1-1. Bahkan lawan tim papan bawah seperti Borneo pun kalah.
WANI!
Saya lirik layar kaca itu. Perhatian saya terbagi. Saya harus mengikuti acara dialog di Metro TV. Lewat Zoom. Yang membahas masa depan BUMN. Saya salah satu narasumbernya.
Tiba-tiba terjadi gol itu. Oleh Taisei Marukawa, pemain asal Jepang itu. Ternyata Persebaya justru menang: 1-0. Peringkatnya pun naik ke urutan 5.
Baru sekali itu Persebaya clean sheet. Sejak Liga 1 diputar tanpa penonton selama pandemi.
(Andhika Ramadhani. Foto-foto: Disway)
Sebenarnya hampir saja Persebaya kebobolan. Tandukan kepala pemain asing Persija itu begitu dekat. Mungkin hanya dari jarak tiga meter. Juga begitu terarah: dekat tiang kanan. Bagian bawah pula.
Kiper Persebaya berhasil menghalaunya. Dengan jibakunya. Kiper itu sampai 12 kali menyelamatkan gawang Persebaya. Pun sampai menit-menit terakhir. Tegangnya bukan main: Persija menggempur habis-habisan.
Tapi kiper itu selalu saja berhasil menangkap bola.
Begitu peluit panjang berbunyi, sang kiper berjalan menuju tengah lapangan. Langkahnya gontai. Lalu tersungkur ke tanah. Ia menangis.
"Saya teringat ibu. Saya menangis untuk ibu," ujar Andhika Ramadhani, sang kiper.
Umurnya baru 21 tahun.
Ia kiper cadangan, itu pun cadangan kedua (kiper ketiga). Mestinya amat kecil peluang bagi dirinya untuk bisa tampil. Kalau pun kiper utama berhalangan, masih ada kiper cadangan.
Itulah yang jadi topik tulisan ini. Takdir. Bukan tentang Persebaya.
Kiper utama Persebaya ternyata cedera. Agak berat. Sampai Maret tahun depan pun belum tentu bisa pulih. Kiper cadangan tiba-tiba dipanggil PSSI untuk ikut pemusatan latihan bagi tim nasional.
Andhika tiba-tiba menjadi satu-satunya pilihan: harus turun ke lapangan. Lawannya sangat kuat: pemimpin sementara klasemen, PSIS Semarang.
"Saya grogi. Mental saya down," ujar Andhika. Persebaya kalah. Ia tidak bisa tidur. Ia bertekad untuk menguatkan mental.
Persebaya sebenarnya mendapat kiper baru. Andhika bisa tersisih lagi. Ternyata kiper baru itu belum vaksin. Tidak bisa dipasang. Andhika ''terpaksa'' dipasang lagi. Mainnya bagus. Persebaya menang. Saya lupa melawan mana. Rasanya melawan Sleman. Itu tidak penting. Dan kemarin Persebaya menang lagi. Bahkan clean sheet. Andhika sampai menangis, bahagia. Padahal gempuran begitu bertubi-tubi.