Tafsir Al Nahl 125: Islam Mengedepankan Dialog

Tafsir Al Nahl 125: Islam Mengedepankan Dialog Ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .    

PENGANTAR

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Ud’u ilaa sabiili rabbika bialhikmati waalmaw’izhati alhasanati wajaadilhum biallatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wahuwa a’lamu bialmuhtadiina (125).

Ayat studi ini turun di Makkah saat gencatan senjata. Orang Islam telah mengadakan kesepakatan dengan orang-orang kafir untuk tidak saling mengganggu. Islam sama sekali tidak menghendaki permusuhan, apalagi perang, meskipun itu atas dasar agama. Islam mengedepankan hidup berdampingan dan saling menghormati. Perkara agama, diserahkan pada keyakinan masing-masing dengan tetap ada kewajiban berdakwah atas setiap individu muslim.

Tapi, kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Orang-orang kafir selalu saja berulah dan sesekali menjahati dengan segala dalih. Jika mereka masih lemah, maka pola penjahatannya secara tersembunyi, di balik layar dan sangat licik. Seperti Bani Nadhir yang sudah diperlakukan sangat baik oleh Rasulullah SAW, ternyata secara diam-diam menjalin kerja sama dengan orang-orang kafir di Makkah.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Mereka menginformasikan segala kegiatan yang ada di kota Madinah, termasuk strategi berperang dan lain-lain. Bani Nadlir yang yahudi sentris ini licik dan menjengkelkan. Terpaksa Rasululllah SAW berbuat tegas dan mengusir mereka dari perkampungan mereka sendiri. Dari pada penyimpan duri dalam daging, lebih baik mengeluarkannya.

Jika mereka sudah kuat, maka dengan seenaknya, tega dan sadis. Seperti para pembesar Makkah yang tega menyiksa kaum muslim yang masih lemah secara brutal dan kelewat batas. Rupanya kekejaman itu merupakan watak orang-orang kafir, tidak dulu, tidak pula sekarang. Terulang pula di abad moderen ini. Tragedi Bosnia 1985 bahkan lebih sadis. Mereka membantai umat islam melampaui kesadisan binatang. Sudah menjadi berita dunia, gadis dan wanita muslimah dizinai lebih dahulu, baru dibunuh. Jika dia hamil, langsung dirobek perutnya.

Tidaklah demikian islam. Meskipun dalam keadaan kecamuk perang, musuh yang sudah terluka dan jatuh tersungkur tidak boleh dibabat habis, kecuali jika masih melakukan perlawanan atau tidak menunjukkan kepasrahan. Musuh yang lari dari medan perang, juga tidak boleh diburu. Para pendeta dan mereka yang sedang beribadah di dalam gereja tidak boleh diganggu. Tapi apa yang terjadi atas umat islam negeri ini?. PKI dulu membantai kiai-kiai yang sedang shalat di dalam masjid.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Memperhatikan watak kafir yang demikian, ulama' berbeda komentar soal status ayat kaji ini.

Pertama, ayat ini berstatus Muhkamah, eksis dan menjadi dasar bertindak menyikapi nonmuslim. Artinya, umat islam dituntut berdakwah dengan tiga cara sebagaimana ditutur pada ayat, yakni: al-hikmah (bijak), mauidhah hasanah (nasehat) dan jidal (dialog). Meski demikian, tiga cara ini dibatasi hanya untuk kelompok tertentu, yaitu:

Pertama, nonmuslim yang damai dan hidup berdampingan dengan kita. Dengan dakwah tersebut, diharap mereka memeluk islam, dan kedua, orang-orang islam yang durhaka dan masih suka berbuat maksiat. Dengan dakwah yang bagus, diharap mereka berubah dan menjadi semakin shalih dan bertaqwa.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Kedua, ayat kaji ini mansukhah. Pesannya tidak berlaku karena telah direvisi oleh aturan baru, yaitu ayat-ayat yang memerintahkan kita angkat senjata, berperang melawan para kafir jahat.

Ketiga, tidak perlu ada revisi dan disfungsi ayat suci. Keduanya tetap eksis dan digunakan sesuai karakter dan kontek masing-masing. Muslim dituntut cerdas menggunakan dua dalil di atas, kapan pakai dakwah dan kapan pula harus angkat senjata. Meski demikian, dakwah adalah yang terdepan dan angkat senjata adalah langkah keterpaksaan, setelah sekian kali diajak berdamai.

TAFSIR

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

"Ud’u ilaa sabiili rabbik". Perintah dakwah ditujukan kepada diri Rasulullah SAW dan kepada setiap muslim sesuai kemampuan, sesuai situasi dan kondisi. Mayoritas mufassirin berpendapat bahwa berdakwah itu hukumnya fardlu kifayah, sedangkan Muhammad Abduh dan beberapa ulama' muta'akhirin memandang dakwah sebagai fardlu a'in.

Sebenarnya tidak ada perbedaan signifikan dari kedua pendapat tersebut. Ketika dakwah sedang dilakukan oleh seseorang dalam satu komunitas, semisal berkhutbah, berceramah, maka cukup salah satu saja. Tidak perlu semua naik mimbar dan berceramah, meski mumpuni.

Bila dalam suatu daerah dan hanya seorang yang punya ilmu, maka dakwah bagianya berhukum fardlu a'in. Begitu halnya di dalam rumah tangga, kepala keluarga terbebani fardlu ain dalam mendakwahi keluarganya. Jika yang mampu istrinya, maka sang istri yang wajib membimbing keagamaan keluarga. Kakak yang mengerti adiknya melakukan kemaksiatan, maka dia terkena hukum fardlu 'ain, wajib menasehati.

Baca Juga: Usia Nabi Nuh 1.000 Tahun, Tapi "Gagal" Dakwahi Umatnya, Ini Perbedaan-Persamaan dengan Nabi Luth

Dakwah era digital ini justru makin luas medianya. Mereka yang bisa mengakses di internet, maupun yang menjadi grup di WA, terkana kewajiban memberi nasehat saat ada ujaran-ujaran yang tidak baik. Berpahala besar bagi mereka yang aktif mengunggah nasehat-nasehat keagamaan dan menebar ilmu di dunia maya.

Nabi Zakariya A.S. adalah utusan Allah SWT yang aktif memberi pengajian di kampung-kampung, memberi nasehat dan berdakwah lintas sektoral. Hal itu, lebih karena banyaknya para pendeta yang menyesatkan, mudah sekali memberi fatwa agama sesuai pesanan. Al-qur'an al-Karim menyinggung masalah ini dengan bahasa "syira'" atau " isytira'", jual beli agama dengan kepentingan duniawi.

Suatu ketika, atas permintaan sendiri Zakariya harus puasa bicara selama tiga hari. Kisahnya begini, Nabi Zakariya lama tidak punya keturunan, lalu beroda dan terus berdoa. Akhirnya, Allah SWT memberi tahu, bahwa permohonan dikabulkan dan sebentar lagi bakal punya anak.

Baca Juga: Fikih Kentut: Ulah Syetan Meniup Dubur agar Kita Ragu Wudlu Batal apa Tidak

Agar jiwa makin mantap, Zakariya mendialog: "Ya Tuhan, bagaimana mungkin itu bisa terjadi. Aku dan istriku sudah tua renta. Mohon Engkau beri indikator atas hal itu. Tuhan menjawab, "Oke, selama tiga malam, kamu bisu, tidak bisa bicara". Benar, tiga hari tiga malam Zakariya bisu mendadak. Satu sisi bersyukur, bahwa sungguh akan dikaruniai anak. Tapi satu sisi ada persoalan, yaitu persoalan dakwah yang menjadi kewajibannya. Kegiatan ngaji terpaksa harus libur selama tiga hari. Benarkah Zakariya libur berdakwah?

Tidak. Zakariya tetap berdakwah, meski dengan menggunakan isyarat-isyarat disertai gerak bibir yang sekiranya bisa difahami umat. Meski tahu bahwa dakwah dengan bahsa isyarat tidak efektif dan tidak maksimal, tapi tetap saja dilakukan. Bagi Zakariya, itu lebih bagus ketimbang lebur total.

Aksi Zakariya ini memberi inspirasi bagi syari'ah islam, yang oleh fuqaha dimunculkan dalam kaedah fiqhiyah: "bahwa, jika sebuah program tidak bisa dicapai semua, maka jangan ditinggal total. Lakukan apa yang bisa."

Baca Juga: Tafsir Al Quran Aktual: Kebanggaan Kentut dan Seks Brutal Kaum Nabi Luth

"Ma la yudrak kulluh, la yutrak kulluh". Seseorang datang ke masjid hendak shalat berjamaah, ternyata ketinggalan dan imam sudah tasyahhud akhir, maka tetap dituntut segera bertakbir dan ikut shalat bersama imam, meski hanya kebagian ujungnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO