Tafsir Al-Isra' 60: Dakwah Campur Ngumbar Nafsu

Tafsir Al-Isra Ilustrasi

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag

60. wa-idz qulnaa laka inna rabbaka ahatha bialnnaasi wamaa ja’alnaa alrru'yaa allatii araynaaka illaa fitnatan lilnnaasi waalsysyajarata almal’uunata fii alqur-aani wanukhawwifuhum famaa yaziiduhum illaa thughyaanan kabiiraan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Dan (ingatlah) ketika Kami wahyukan kepadamu, “Sungguh, (ilmu) Tuhanmu meliputi seluruh manusia.” Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon yang terkutuk (zaqqum) dalam Al-Qur'an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.


TAFSIR AKTUAL

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Bisa dipetik pelajaran, dua ayat studi terakhir ini, dalam pesannya sama-sama menggunakan kata takhwif, nada warning, atau ancaman ditekankan, yakni: "wamaa nursilu bial-aayaati illaa takhwiifaan" (59) dan "wanukhawwifuhum famaa yaziiduhum illaa thughyaanan kabiiraan" (60).

Justru pada al-Taubah: 125 menunjuk, bahwa arah dakwah, materinya harusnya lebih menonjolkan sisi "indzar atau li yundziru qaumahum" (memberi peringatan serius) dan setelah didakwahi, obyek dakwah berubah menjadi merinding, ketakutan akan siksa Allah kelak (la'allahum yahdzarun).

Jadi, dakwah yang membuat orang lebih bisa menahan diri dari berbuat jahat, menahan nafsu, menghindari maksiat jauh lebih diutamakan. Di sini kekurangan kita. Jadinya, umat islam negeri ini mudah "munafik". Untuk amal baik dan ibadah ritual dan seremonial, sungguh luar biasa dan serba "kubro", raksasa.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Shalawatan Kubra, Istighatsah Kubra, Tahlil Akbar, Khataman Seribu Majelis, umroh rombongan sangat hebat, dan nomor satu di dunia. Tapi mencegah jogetan maksiat, goyang erotis di samping rumah sendiri tidak dilakukan. Artis jorok dan bergoyang heboh di alun-alun depan masjid agung biasa terselenggara saat agustusan.

Alasannya, lalgi-lagi hak asasi, urusan pribadi, tidak mengganggu orang, kebebasan, dll. Baru nanti jika ada tawuran karena senggolan atau rebutan cewek saat joget, atau ada korban, pak polisi tampil dan turun tangan sesuai gayanya. Kasep. Dan syariah Islam tidak demikian. Sesuai arahan ayat ini, harus "takhwif" dan dicegah sejak dini. Jika ini dilakukan, risiko bisa diminimalisir, pasti.

Untuk itu, tidak main-main penulis menulis judul tulisan ini, bahwa ada dakwah itu ada yang campur mengumbar nafsu. Ya, karena dari satu sisi memang jelas baca shalawat, berdakwah, tapi dari sisi lain juga bersenang-senang, bisa bergoyang, yel yel, dan fresh. Sisi positifnya jelas ada, yaitu guyub, kemriyek, terhibur, membludak, damai. Tapi efek taqwanya apa? Kurang jelas?

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Tidak ada bukti signifikan, seseorang bertobat habis nonton dangdutan Nada dan Dakwahnya Oma Irama, atau habis ikut Indonesia bershalawat, Surabaya Istighatsah, lalu jamaah shubuhnya meningkat, lalu berhenti berjudi, lalu berhenti korupsi. Yang ada, ya biasa-biasa saja, pancet.

Kenapa ayat ini menekankan dakwah "takhwif"? Ya, karena dakwah dengan materi takhwif itu berisiko, berat dan dicemooh orang banyak. Coba saja anda berdakwah dengan materi takhwif, bahwa membuka aurat di hadapan umum, nanti di alam kubur auratnya itu akan dibakar dengan api neraka. Rambut terurai, pinggul bergoyang, jemari pemetik gitar, penabuh alat musik maksiat akan diminta pertanggungjawaban masing-masing di hadapan Allah SWT nanti. Lalu perhatikan respons publik.

Sudah bisa dipastikan, tidak akan ada ustadz, apalagi ustadz televisi, ustadz entertainment yang berani kenceng berdakwah demikian. Karena risikonya tidak laku, tidak dipakai lagi, ustadznya dianggap radikal, kasar, tidak toleran, tidak santun, tidak menyejukkan dan lain-lain. Ustadznya masih terus menuruti nafsu pendengarnya. Atau justru ustadznya sendiri yang menciptakan demikian agar dirinya lebih laku. Sampai kapan?

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Sekali lagi, kenapa dakwah dalam pagelaran, di pentas seni, pakai musik kolosal, dalam shalawat banjarian, gamelan, gendingan, itu marak dan laris manis? Jawabnya, karena campur ngumbar nafsu, bisa terhibur dan enjoy. Apa ini dilarang? Oh, tidak. Cuma kurang selaras dengan pesan ayat kaji ini. Hadana Allah.

Ingatlah, bahwa menghindar dari api neraka itu sangat diutamakan ketimbang memproyeksikan diri bisa masuk surga. Karena, dengan sama sekali tidak tersentuh api neraka, maka - setidaknya - seseorang pasti tidak sengsara di akhirat nanti, sekaligus sangat berpeluang masuk surga karea fadlal-Nya. Tidak sebaliknya. Orang yang masuk surga tidak mesti bebas neraka sebelumnya. Bisa jadi disiksa dulu sesuai kadar dosanya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO